Minggu, 20 November 2011

ngentot adik sepupu

Kuperhatikan jam telah menunjukan pukul 22:39 tepat. Ya, memang
pada jam-jam seperti ini aku biasa olahraga berat untuk
membentuk otot-otot di tubuhku. Suasana sepi dan udara sejuk
sangat aku sukai. Kamar kost-ku di pinggirn utara kota Jogja
memang menawarkan hawa dinginnya. Itulah sebabnya aku sangat
betah kost di sini sejak resmi jadi mahasiswa hingga hampir ujian
akhirku yang memasuki semester delapan ini.
Sudah jadi kebiasaanku, aku selalu berolahraga dengan telanjang
bulat, sehingga dapat kuperhatikan tubuhku sendiri lewat cermin
itu yang kian hari kian tumbuh kekar dan indah. berkulit sawo
matang gelap. Rambut kasar memenuhi hampir di seluruh kedua
lengan tangan dan kaki serta dadaku yang membidang ke bawah,
lebih-lebih pada daerah kemaluanku. Rambutnya tumbuh subur
dengan batang zakarnya yang selalu terhangati olehnya. Kuraba-
raba batang kemaluanku yang mulai beranjak tegang ereksi ini.
Hmm, ouh, mengasyikan sekali. Air keringatku turut membasahi
batang zakar dan buah pelirku. Dengan sambil duduk di kursi
plastik aku berfantasi seandainya ini dilakukan oleh seorang
wanita. Mengelus-elus zakarku yang pernah kuukur memiliki
panjang 20 centimeter dengan garis lingkar yang 18 centimeter!
Mataku hanya merem melek saja menikmati sensasi yang indah ini.
Perlahan-lahan aku mulai melumuri batang zakarku dengan air
liurku sendiri. Kini sambil menggenggam batang zakar, aku terus
menerus melakukan mengocok-ngocok secara lembut yang
berangsur-angsur ke tempo cepat.
Aku tengah menikmati itu semua dengan sensasiku yang luar biasa
ketika tiba-tiba pintu kamar kost-ku diketok pelan-pelan. Sial, aku
sejenak terperangah, lebih-lebih saat kudengar suara cewek yang
cukup lama sekali tak pernah kudengar.
“Mas, Mas Wid? Ini aku, Irma!”
Irma? Adik sepupuku dari Pekalongan? Ngapain malam-malam begini
ini datang ke Jogja? Gila! Buru-buru aku melilitkan kain handuk
kecilku sambil memburu ke arah pintu untuk membukakannya.
“Irma?” ucapku sambil menggeser posisiku berdiri untuk memberi
jalan masuk buat adik sepupuku yang terkenal tomboy ini. Irma
terus saja masuk ke dalam sambil melempar tas ranselnya dan lari
ke kamar mandi yang memang tersedia di setiap kamar kost ini.
Sejenak aku melongok keluar, sepi, hanya gelap di halaman
samping yang menawarkan kesunyian. Pintu kembali kututup dan
kukunci. Aku hanya menghela nafasku dalam-dalam sambil
memperhatikan tas ransel Irma.
Tak berapa lama Irma keluar dengan wajah basah dan kusut.
Rambutnya yang lebat sebahu acak-acakan. Aku agak terkejut
saat menyadari bahwa kini Irma hanya memakai kaos oblong khas
Jogja. Rupanya ia telah melepas celana jeans biru ketatnya di
kamar mandi. Kulit pahanya yang kuning langsat dan ketat itu
terlihat jelas. “Ada masalah apa lagi, hmm? Dapat nilai jelek lagi di
sekolahan lalu dimarahi Bapak Ibumu?” tanyaku sambil mendekat
dan mengelus rambutnya, Irma hanya terdiam saja. Anak SMU kelas
dua ini memang bandel. Mungkin sifat tomboynya yang membuat
dirinya begitu. Tak mudah diatur dan maunya sendiri saja. Jadinya,
aku ini yang sering kewalahan jika ia datang mendadak minta
perlindunganku. Aku memang punya pengaruh di lingkungan
keluarganya.
Irma hanya berdiri termangu di depan cermin olah ragaku. Walau
wajahnya merunduk, aku dapat melihat bahwa dia sedang
memandangi tubuhku yang setengah telanjang ini.
“Lama ya Mas, Irma nggak ke sini.”
“Hampir lima tahun,” jawabku lebih mendekat lagi lalu kusadari
bahwa lengan dan tangannya luka lecet kecil.
“Berantem lagi, ya? Gila!” seruku kaget menyadari memar-memar di
leher, wajah, kaki, dan entah dimana lagi.
“Irma kalah, Mas. Dikeroyok sepuluh cowok jalanan. Sakit semua,
ouih. Mas, jangan bilang sama Bapak Ibu ya, kalau Irma kesini.
Aduh…!” teriak tertahan Irma mengaduh pada dadanya.
“Apa yang kamu rasakan Ir? Dimana sakitnya, dimana?” tanyaku
menahan tubuhnya yang mau roboh.
Tapi dengan kuat Irma dapat berdiri kembali secara gontai sambil
memegangi lenganku.
“Seluruh tubuhku rasanya sakit dan pegal semua, Mas, ouh!”
“Biar Mas lihat, ya? Nggak apa-apa khan? Nggak malu, to?”
desakku yang terus terang aku sudah mulai tergoda dengan
postur tubuh Irma yang bongsor ketat. Irma hanya mengangguk
kalem.
“Ah, Mas Wid. Irma malah pengin seperti dulu lagi, kita mandi
bareng… Irma kangen sama pijitan Mas Wid!” ujar Irma tersenyum
malu.
Edan! Aku kian merasakan batang kemaluanku mengeras ketat. Dan
itu jelas sekali terlihat pada bentuk handuk kecil yang
menutupinya, ada semacam benda keras yang hendak menyodok
keluar. Dan Irma dapat pula melihatnya! Perlahan kulepas kaos
oblong Irma. Sebentar dirinya seperti malu-malu, tapi kemudian
membiarkan tanganku kemudian melepas BH ukuran 36B serta CD
krem berenda ketatnya. Aku terkejut dan sekaligus terangsang
hebat. Di tubuh mulusnya yang indah itu, banyak memar
menghiasinya. Aku berjalan memutari tubuh telanjangnya. Dengan
gemetaran, jemariku menggerayangi wajahnya, bibirnya, lalu leher
dan terus ke bawahnya. Cukup lama aku meraba-raba dan
mengelus serta meremas lembut buah dadanya yang ranum ini.
“Mas Wid… enak sekali Mas, teruskan yaaa… ouh, ouh..!” pinta
mulut Irma sambil merem-melek. Mulutku kini maju ke dada Irma.
Perlahan kuhisap dan kukulum nikmat puting susunya yang coklat
kehitaman itu secara bergantian kiri dan kanannya. Sementara
kedua jemari tanganku tetap meremas-remas kalem dan meningkat
keras. Mulut Irma makin merintih-rintih memintaku untuk berbuat
lebih nekat dan berani. Irma menantangku, sedotan pada puting
susunya makin kukeraskan sambil kuselingi dengan memilin-milin
puting-puting susu tersebut secara gemas.
“Auuuh, aduh Mas Wid, lebih keras… lebih kencang, ouh!”
menggelinjang tubuh Irma sambil berpegangan pada kedua
pundakku. Puting Irma memang kenyal dan mengasyikan. Kurasakan
bahwa kedua puting susu Irma telah mengeras total. Aku
merendahkan tubuhku ke bawah, mulutku menyusuri kulit tubuh
bugil Irma, menyapu perutnya dan terus ke bawah lagi. Rambut
kemaluan Irma rupanya dicukur habis, sehingga yang tampak kini
adalah gundukan daging lembut yang terbelah celah sempitnya
yang rapat. Karuan lagi saja, mulutku langsung menerkam bibir
kemaluan Irma dengan penuh nafsu. Aku terus mendesakkan
mulutku ke dalam liang kemaluannya yang sempit sambil
menjulurkan lidahku untuk menjilati klitorisnya di dalam sana. Irma
benar-benar sangat menggairahkan. Dalam masalah seks, aku
memang memliki jadwal rutin dengan pacarku yang dokter gigi itu.
Dan kalau dibandingkan, Irma lebih unggul dari Sinta, pacarku.
Mulutku tidak hanya melumat-lumat bibir kemaluan Irma, tapi juga
menyedot-nyedotnya dengan ganas, menggigit kecil serta menjilat-
jilat.
Tanpa kusadari kain handukku terlepas sendiri. Aku sudah
merasakan batang kemaluanku yang minta untuk menerjang liang
kemaluan lawan. Karuan lagi, aku cepat berdiri dan meminta Irma
untuk jongkok di depanku. Gadis itu menurut saja. “Buka mulutmu,
Dik. Buka!” pintaku sambil membimbing batang kemaluanku ke dalam
mulut Irma. Gadis itu semula menolak keras, tapi aku terus
memaksanya bahwa ini tidak berbahaya. Akhirnya Irma menurut
saja. Irma mulai menyedot-nyedot keras batang kemaluanku
sembari meremas-remas buah zakarku. Ahk, sungguh indah dan
menggairahkan. Perbuatan Irma ini rupanya lebih binal dari Sinta.
Jemari Irma kadangkala menyelingi dengan mengocok-ngocok
batang kemaluanku, lalu menelannya dan melumat-lumat dengan
girang.
“Teruskan Dik, teruskan, yeeeahh, ouh… ouh… auh!” teriakku
kegelian. Keringat kembali berceceran deras. Aku turut serta
menusuk-nusukan batang kemaluanku ke dalam mulut Irma,
sehingga gadis cantik ini jadi tersendak-sendak. Tapi justru aku
kian senang. Kini aku tak dapat menahan desakan titik puncak
orgasmeku. Dengan cepat aku muntahkan spermaku di dalam mulut
Irma yang masih mengulum ujung batang kemlauanku.
“Crooot… creet… crret…!”
“Ditelan Dik, ayo ditelan habis, dan bersihkan lepotannya!” pintaku
yang dituruti saja oleh Irma yang semula hendak memuntahkannya.
Aku sedikit dapat bernafas lega. Irma telah menjilati dan
membersihkan lepotan air maniku di sekujur ujung zakar.
“Maaasss, ouh, rasanya aneh…!” ujar Irma sambil kuminta berdiri.
Sesaat lamanya kami saling pandang. Kami kemudian hanya saling
berpelukan dengan hangat dan mesra. Kurasakan desakan buah
dadanya yang kencang itu menggelitik birahiku kembali.
“Ayo Dik, menungging di depan cermin itu!” pintaku sambil
mengarahkan tubuh Irma untuk menungging. Irma manut. Dengan
cepat aku terus membenamkan batang kemaluanku ke liang
kemaluan Irma lewat belakang dan melakukan gerakan maju mundur
dengan kencang sekali. “Aduuh, auuh… ouh.. ouh… aaah… ouh,
sakit, sakit Mas!” teriak-teriak mulut Irma merem-melek. Tapi aku
tak peduli, adik sepupuku itu terus saja kuperkosa dengan hebat.
Sambil berpegangan pada kedua pinggulnya, aku menari-narikan
batang kemaluanku pada liang kemaluan Irma.
“Sakiiit… ouhh…!”
“Blesep… slep… sleeep…” suara tusukan persetubuhan itu begitu
indah.
Irma terus saja menggelinjang hebat.
Aku segera mencabut batang kemaluanku, membalikkan posisi
tubuh Irma yang kini telentang dengan kedua kakinya kuminta
untuk melipat sejajar badannya. sementara kedua tangannya
memegangi lipatan kedua kakinya. Kini aku bekerja lagi untuk
menyetubuhi Irma.
“Ouuh… aaahhk… ouh… ouh…!”
Dengan menopang tubuhku berpegangan pada buah dadanya, aku
terus kian ganas tanpa ampun lagi menikam-nikam kemaluan Irma
dengan batang kemaluanku.
“Crrrooot… cret… creet…!”
Menyemprot air mani zakarku di dalam liang kemaluan Irma.
“Maaas… ouuuh… aduh… aaahk!” teriak Irma yang langsung agak
lunglai lemas, sementara aku berbaring menindih tubuh bugilnya
dengan batang kemaluanku yang masih tetap menancap di dalam
kemaluanya.
“Dik Irma, bagaimana kalau adik pindah sekolah di Jogja saja. Kita
kontrak satu rumah… hmm?” tanyaku sambil menciumi mulut tebal
sensual Irma yang juga membalasku. “Irma sudi-sudi saja, Mas.
Ouh…” Entah, karena kelelehan kami, akhirnya tidur adalah
pilihannya. Aku benar-benar terlelap.
TAMAT

Tidak ada komentar: