Jumat, 16 Maret 2012

adikku masih belia

Sore itu, aku gerah sekali. Aku mengenakan
kain sarung. Biasa itu aku lakukan untuk
mengusir rasa gerah. Semua keluargatau itu.
Kali ini seperti biasanya aku mengenakan kain
sarung tanpa baju seperti biasanya, hanya
saja kali ini aku tidak mengenakan CD.
“Wandy (nama samaran)…ibu pergi dulu ya.
Temani Shindy, ya,” ibu kosku setengah
berteriak dari ruang tamu.
“Ok…bu!”jawabku singkat. Aku duduk di
tempat tidurku sembari membaca novel
Pramoedya Ananta Toer. AKu mendengar
suara pintu tertutup dan Shindy
menguncinya. Tak lama Shindy datang ke
kamarku. Dia hanya memakai minishirt.
Mungkin karean gerah juga. Terlihat jelas
olehku, teteknya yang mungil baru tumbuh
membayang. Pentilnya yang aku rasa baru
sebesar beras menyembul dari balik minishirt
itu. Shindy baru saja mandi. Memakai celana
hotpant. Entah kenapa, tiba-tiba burungku
menggeliat. Saat Shindy mendekatiku,
langsung dia kupeluk dan kucium pipinya.
Mencium pipinya, sudah menjadi hal yang
biasa. Di depan ibu dan ayahnya, aku sudah
beberapa kali mencium pipinya, terkadang
mencubit pipi montok putih mulus itu.
Shindy pun kupangku. Kupeluk dengannafsu.
Dia diam saja, karen tak tau apa yang bakal
tejadi. Setelah puas mencium kedua pipinya,
kini kucium bibirnya. Biobir bagian bawah
yang tipis itu kusedot perlahan sekali dengan
lembut. Shindy menatapku dalam diam. Aku
tersenyum dan Shindy membalas senyumku.
Shindy berontak sat lidahku memasuki
mulutnya. Tapi aku tetap mengelus-elus
rambutnya.
“Ulurkan lidahmu, nanti kamu akan tau,
betapa enaknya,” kataku berusaha
menggunakan bahasa anak-anak.
“Ah…jijik,”katanya. Aku terus merayunya
dengan lembut. Akhirnya Shindy
menurutinya. Aku mengulum bibirnya
dengan lembut. Sebaliknya kuajari dia
mkenyedot-nyedot lidahku. Sebelumnya aku
mengatakan, kalau aku sudah sikat gigi.
“Bagaimana, enak kan?” kataku. Shindy diam
saja. Aku berjanji akan memberikan yang
lebih nikmat lagi. Shindy mengangukkan
kepalanya. Dia mau yang lebih nikmat lagi.
Dengan pelan kubuka minishirt-nya.
“Malu dong kak?” katanya. Aku
meyakinkannya, kalau kami hanya berdua di
rumah dan tak akan ada yang melihat. Aku
bujuk dia kalau kalau mau tau rasa enak dan
nanti akan kubawa jajan. Bujukanku
mengena. Perlahan kubuka minishirt-nya.
Bul….buah dadanya yang baru tumbuh itu
menyembul. Benar saja, pentilnya masih
sebesar beras. Dengan lembut dan sangat
hati-hati, kujilati teteknya itu. Lidahku bermain
di pentil teteknya. Kiri dan kanan. Kulihat
Shindy mulai kegelian.
“Bagaimana…enakkan? Mau diterusin atau stop
aja?” tanyaku. Shindy hanya tersenyum saja.
Kuturunkan dia dari pangkuanku. Lalu kuminta
dia bertelanjang. Mulanya dia menolak, tapi
aku terus membujuknya dan akupun
melepaskan kain sarungku, hingga aku lebih
dulu telanjang. Perlahan kubuka celana
pendeknya dan kolornya. Lalu dia kupangku
lagi. Kini belahan vaginanya kurapatkan ke
burungku yang sudah berdiri tegak bagai
tiang bendera. Tubuhnya yang mungil
menempel di tubuhku. Kami berpelukan dan
bergantian menyedot bibir dan lidah. Dengan
cepat sekali Shindy dapat mempelajari apa
yang kusarankan. Dia benar-benar menikmati
jilatanku pada teteknya yang mungil itu.
“Shindy mau lebih enak lagi enggak?” tanyaku.
Lagi-lagi Shindy diam. Kutidurkan dia di atas
tempat tidurku. Lalu kukangkangkan kedua
pahanya. Vagina mulus tanpa bulu dan bibir
itu, begitu indahnya. Mulai kujilati vaginanya.
Dengan lidah secara lembut kuarahkan lidahku
pada klitorisnya. Naik-turun, naik-turun.
Kulihat Shindy memejamkan matanya.
“Bagaimana, nikmat?” tanyaku. Lagi-lagi
Shindy yang suka grusah grusuh itu diam
saja. Kulanjutkan menjilati vaginanya. Aku
belum sampai hati merusak perawannya. Dia
harus tetap perawan, pikirku. Shindy pun
menggelinjang. Tiba-tiba dia minta berhenti.
Saat aku memberhentikannya, dia dengan
cepat berlari ke kamar mandi. Aku mendengar
suara, Shindy sedang kencing. AKua
mengerti, kalau Shindy masih kecil. Setelah dia
cebok, dia kembali lagi ke kamarku.
Shindy meminta lagi, agar teteknya dijilati.
Nanti kalau sudah tetek di jilati, ***** Shindy
jilati lagi ya Kak? katanya. Aku tersenyum. Dia
sudah dapat rasa nikmat pikirku. Aku
mengangguk. Setelah dia kurebahkan kembali
di tempat tidur, kukangkangkan kedua
pahanya. Kini burungku kugesek-gesekkan ke
vaginanya. Kucari klitorisnya. Pada klitoris
itulah kepala burungku kugesek-gesekkan.
Aku sengaja memegang burungku, agar tak
sampai merusak Shindy. Sementara lidahku,
terus menjilati puting teteknya. Aku merasa
tak puas. Walaupun aku laki-laki, aku selalu
menyediakan lotion di kamarku, kalau hari
panas lotion itu mampu mengghilangkan
kegerahan pada kulitku. Dengan cepat lotion
itu kuolesi pada bvurungku. Lalu kuolesi pula
pada vagina Shindy dan selangkangannya.
Kini Shindy kembali kupangku.
Vaginanya yang sudah licin dan burungku
yang sudah licin, berlaga. Kugesek-gesek.
Pantatnya yang mungil kumaju-mundurkan.
Tangan kananku berada di pantatnya agar
mudah memaju-mundurkannya. Sebelah lagi
tanganku memeluk tubuhnya. Dadanya yang
ditumbuhi tetek munguil itu merapat ke
perutku. Aku tertunduk untuk menjilati
lehernya. Rasa licin akibat lotion membuat
Shindy semakin kuat memeluk leherku. Aku
juga memeluknya erat. Kini bungkahan lahar
mau meletus dari burungku. Dengan cepat
kuarahkan kepala burungku ke lubang
vaginanya. Setelah menempel dengan cepat
tanganku mengocok burung yang tegang itu.
Dan crooot…crooot…crooot. Spermaku
keluar. Aku yakin, dia sperma itu akan
muncrat di lubang vagina Shindy. Kini tubuh
Shindy kudekap kuat. Shindy membalas
dekapanku. Nafasnya semakin tak teratur.
“Ah…kak, Shindy mau pipis nih,” katanya.
“Pipis saja,” kataku sembari memeluknya
semakin erat. Shindy membalas pelukanku
lebih erat lagi. Kedua kakinya menjepit
pinggangku, kuat sekali. Aku membiarkannya
memperlakukan aku demikian. Tak lama.
Perlahan-lahan jepitan kedua aki Shindy
melemas. Rangkulannya pada leherku, juga
melemas. Dengan kasih sayang, aku
mencium pipinya. Kugendong dia ke kamar
mandi. Aku tak melihat ada sperma di
selangkangannya. Mungkinkah spermaku
memasuki vaginanya? Aku tak perduli, karean
aku tau Shindy belum haid.
Kupakaikan pakaiannya, setelah di kamar. Aku
makai kain sarungku. Mari kita bobo, kataku.
Shindy menganguk.
“Besok lagi, ya Kak,” katanya.
“Ya..besok lagi atau nanti. Tapi ini rahasia kita
berdua ya. Tak boleh diketahui oleh siapapun
juga,” kataku. Shindy mengangguk. Kucium
pipinya dan kami tertidur pulas di kamar.
Kami terbangun, setelah terdengar suara bell.
Shindy kubangunkan untuk membuka pintu.
Mamanya pulang dengan papanya. Sedang
aku pura-pura tertidur. Jantungku berdetak
keras. Apakah Shindy menceritakan kejadian
itu kepada mamanya atau tidak. Ternyata
tidak. Shindy hanya bercerita, kalau dia
ketiduran di sampingku yang katanya masih
tertidur pulas.
“Sudah buat PR, tanya papanya.
“Sudah siap, dibantu kakak tadi,” katanya.
Ternyata Shindy secara refleks sudah pandai
berbohong. Selamat, pikirku.
Setelah itu, setiap kali ada kesempatan, kami
selalu bertelanjang. Jika kesempatan sempit,
kami hanya cipokan saja. Aku
menggendongnya lalu mencium bibirnya.
Hal itu kami lakukan 16 bulan lamanya, sampai
aku jadi sarjana dan aku harus mencari
pekerjaan.
Malam perpisahan, kami melakukannya.
Karena terlalu sering melaga kepala burungku
ke vaginanya, ketika kukuakkan vaginanya,
aku melihat selaput daranya masioh utuh.
Masa depannya pasti masih baik, pikirku. Aku
tak merusak vagina mungil itu.
Sesekali aku merindukan Shindy, setelah lima
tahun kejadian. AKu tak tahu sebesar apa
teteknya sekarang, apakah dia ketagihan atau
tidak. Kalau ketagihan, apakah perawannya
sudah jebol atau tidak. Semoga saja tidak.

Tidak ada komentar: