Minggu, 20 November 2011

ayah tiriku merenggut keprawanan memek ku

Cerita
Dewasa
sedarah ya,
Judulnya “Cerita
Dewasa Ayah
Tiri ku
Merengut
Keperawanan
Memek ku ”.
Hmmmm… kek
nya lumayan hot
juga ya,
Langsung aja
dah, kaga usah
basa basi,
SELAMAT
MENIKMATI !!
Cerita Nafsu ini
berawal dari
kenakalan orang
tua tiri ku dan
kepasrahan
diriku.
Perkenalkan
namaku Juita,
usiaku 16 tahun.
Aku sekarang
duduk di kelas II
SMA di
Sumedang. Suatu
hari aku
mendapat
pengalaman
yang tentunya
baru untuk gadis
seukuranku. Oya,
aku gadis
keturunan Jawa
dan Sunda.
Sehingga wajar
saja kulitku
terlihat putih
bersih dan satu
lagi, ditaburi
dengan bulu-bulu
halus di sekujur
tubuh yang
tentu saja
sangat disukai
lelaki. Kata
teman-teman,
aku ini cantik lho.
Memang siang ini
cuacanya cukup
panas, satu
persatu pakaian
yang menempel
di tubuhku
kulepas. Kuakui,
kendati masih
ABG tetapi aku
memiliki tubuh
yang lumayan
montok. Bila
melihat lekuk-
lekuk tubuh ini
tentu saja
mengundang
jakun pria
manapun untuk
tersedak.
Dengan rambut
kemerah-
merahan dan
tinggi 167 cm,
aku tampak
dewasa. Sekilas,
siapapun
mungkin tidak
percaya kalau
akuadalah
seorang pelajar.
Apalagi bila
memakai
pakaian casual
kegemaranku.
Mungkin karena
pertumbuhan
yang begitu
cepat atau
memang sudah
keturunan,
entahlah. Tetapi
yang jelas cukup
mempesona,
wajah oval
dengan leher
jenjang, uh..
entahlah.
Pagi tadi
sebelum
berangkat ke
sekolah, seperti
biasanya aku
berpamitan
dengan kedua
orangtuaku. Cium
pipi kiri dan
kanan adalah
rutinitas dan
menjadi tradisi di
keluarga ini.
Tetapi yang
menjadi
perhatianku
siang ini adalah
ciuman Ayah.
Seusai sarapan
pagi, ketika
Mama beranjak
menuju dapur,
aku terlebih
dahulu mencium
pipi Ayah. Ayah
Robi (begitu
namanya) bukan
mencium pipiku
saja, tetapi
bibirku juga.
Seketika itu, aku
sempat terpaku
sejenak. Entah
karena terkejut
untuk menolak
atau menerima
perlakukan itu,
aku sendiri tidak
tahu.
Ayah Robi sudah
setahun ini
menjadi Ayah
tiriku.
Sebelumnya,
Mama sempat
menjanda tiga
tahun. Karena
aku dan kedua
adikku masih
butuh seorang
ayah, Mama
akhirnya
menikah lagi.
Ayah Robi
memang
termasuk pria
tampan. Usianya
pun baru 38
tahun. Teman-
teman sekolahku
banyak yang
cerita kalau aku
bersukur punya
Ayah Robi.
"Salam ya sama
Ayah kamu.."
ledek teman-
temanku.
Aku sendiri
sebenarnya
sedikit grogi
kalau berdua
dengan Ayah.
Tetapi dengan
kasih sayang dan
pengertian
layaknya
seorang teman,
Ayah pandai
mengambil
hatiku. Hingga
akhirnya aku
sangat akrab
dengan Ayah,
bahkan
terkadang
kelewat manja.
Tetapi Mama
tidak pernah
protes, malah dia
tampak bahagia
melihat
keakraban kami.
Tetapi ciuman
Ayah tadi pagi
sungguh diluar
dugaanku. Aku
memang
terkadang sering
melendot sama
Ayah atau duduk
sangat dekat
ketika menonton
TV. Tetapi
ciumannya itu
lho. Aku masih
ingat ketika bibir
Ayah menyentuh
bibir tipisku.
Walau hanya
sekejab, tetapi
cukup membuat
bulu kudukku
merinding bila
membayangkann
ya. Mungkin
karena aku
belum pernah
memiliki
pengalaman
dicium lawan
jenis, sehingga
aku begitu
terkesima.
"Ah, mungkin
Ayah nggak
sengaja.." pikirku.
Esok paginya
seusai sarapan,
aku mencoba
untuk melupakan
kejadian kemarin.
Tetapi ketika
aku memberikan
ciuman ke Mama,
Ayah beranjak
dari tempat
duduknya dan
menuju kamar.
Mau tidak mau
kuikuti Ayah ke
kamar. Aku pun
segera berjinjit
untuk mencium
pipi Ayah. Respon
Ayah pun kulihat
biasa saja.
Dengan sedikit
membungkukkan
tubuh atletisnya,
Ayah menerima
ciumanku. Tetapi
setelah kucium
kedua pipinya,
tiba-tiba Ayah
mendaratkan
bibirnya ke
bibirku. Serr..,
darahku seketika
berdesir. Apalagi
bulu-bulu
kasarnya
bergesekan
dengan bibir
atasku. Tetapi
entah kenapa
aku
menerimanya,
kubiarkan Ayah
mengulum
lembut bibirku.
Hembusan nafas
Ayah Robi
menerpa
wajahku. Hampir
satu menit
kubiarkan Ayah
menikmati
bibirku.
"Baik-baik di
sekolah ya..,
pulang sekolah
jangan
keluyuran..!"
begitu yang
kudengar dari
Ayah.
Sejak kejadian
itu, hubungan
kami malah
semakin dekat
saja. Keakraban
ini kunikmati
sekali. Aku sudah
dapat
merasakan
nikmatnya
ciuman seorang
lelaki, kendati itu
dilakukan Ayah
tiriku, begitu
yang tersirat
dalam pikiranku.
Darahku berdesir
hangat bila kulit
kami
bersentuhan.
Begitulah, setiap
berangkat
sekolah, ciuman
ala Ayah menjadi
tradisi. Tetapi itu
rahasia kami
berdua saja.
Bahkan pernah
satu hari, ketika
Mama di dapur,
aku dan Ayah
berciuman di
meja makan.
Malah aku sudah
berani
memberikan
perlawanan.
Lidah Ayah yang
masuk ke rongga
mulutku
langsung
kuhisap. Ayah
juga begitu. Kalau
tidak memikirkan
Mama yang
berada di dapur,
mungkin kami
akan
melakukannya
lebih panas lagi.
Hari ini cuaca
cukup panas.
Aku mengambil
inisiatif untuk
mandi. Kebetulan
aku hanya
sendirian di
rumah. Mama
membawa
kedua adikku
liburan ke luar
kota karena lagi
liburan sekolah.
Dengan hanya
mengenakan
handuk putih,
aku sekenanya
menuju kamar
mandi. Setelah
membersihkan
tubuh, aku
merasakan
segar di tubuhku.
Begitu hendak
masuk kamar,
tiba-tiba satu
suara yang
cukup akrab di
telingaku
menyebut
namaku.
"Wit.. Wit.., Ayah
pulang.." ujar
lelaki yang
ternyata
Ayahku.
"Kok cepat
pulangnya Yah..?"
tanyaku heran
sambil
mengambil baju
dari lemari.
"Iya nih, Ayah
capek.." jawab
Ayah dari luar.
"Kamu masak
apa..?" tanya
Ayah sambil
masuk ke
kamarku.
Aku sempat
kaget juga.
Ternyata pintu
belum dikunci.
Tetapi aku coba
tenang-tenang
saja. Handuk
yang melilit di
tubuhku tadinya
kedodoran, aku
ketatkan lagi.
Kemudian
membalikkan
tubuh. Ayah
rupanya sudah
tiduran di
ranjangku.
"Ada deh..,"
ucapku sambil
memandang
Ayah dengan
senyuman.
"Ada deh itu
apa..?" tanya
Ayah lagi sambil
membetulkan
posisi tubuhnya
dan memandang
ke arahku.
"Memangnya
kenapa Pa..?"
tanyaku lagi
sedikit bercanda.
"Nggak ada
racunnya kan..?"
candanya.
"Ada, tapi kecil-
kecil.." ujarku
menyambut
canda Ayah.
"Kalau gitu, Ayah
bisa mati dong.."
ujarnya sambil
berdiri
menghadap ke
arahku.
Aku sedikit
gelagapan,
karena posisi
Ayah tepat di
depanku.
"Kalau Ayah
mati, gimana..?"
tanya Ayah lagi.
Aku sempat
terdiam
mendengar
pertanyaan itu.
"Lho.., kok kamu
diam, jawab
dong..!" tanya
Ayah sambil
menggenggam
kedua tanganku
yang sedang
memegang
handuk.
Aku kembali
terdiam. Aku
tidak tahu harus
bagaimana.
Bukan
jawabannya
yang
membuatku
diam, tetapi
keberadaan kami
di kamar ini.
Apalagi kondisiku
setengah bugil.
Belum lagi
terjawab,
tangan kanan
Ayah memegang
daguku,
sementara
sebelah lagi
tetap
menggenggam
tanganku dengan
hangat. Ia
angkat daguku
dan aku
menengadah ke
wajahnya. Aku
diam saja
diperlakukan
begini. Kulihat
pancaran mata
Ayah begitu
tenangnya. Lalu
kepalanya
perlahan turun
dan mengecup
bibirku. Cukup
lama Ayah
mengulum bibir
merahku.
Perlahan tetapi
pasti, aku mulai
gelisah. Birahiku
mulai terusik.
Tanpa kusadari
kuikuti saja
keindahan ini.
Nafsu remajaku
mulai keluar
ketika tangan kiri
Ayah menyentuh
payudaraku dan
melakukan
remasan kecil.
Tidak hanya
bibirku yang
dijamah bibir
tebal Ayah. Leher
jenjang yang
ditumbuhi bulu-
bulu halus itu pun
tidak luput dari
sentuhan Ayah.
Bibir itu
kemudian
berpindah ke
telingaku.
"Yah.." kataku
ketika lidah Ayah
masuk dan
menggelitik
telingaku.
Ayah kemudian
membaringkan
tubuhku di atas
kasur empuk.
" Yah.. nanti
ketahuan
Mama.." sebutku
mencoba
mengingatkan
Mama.
Tetapi Ayah
diam saja, sambil
menindih
tubuhku, bibirku
dikecupnya lagi.
Tidak lama,
handuk yang
melilit di tubuhku
disingkapkannya.
"Juita, tubuh
kamu sangat
harum.." bisik
Ayah lembut
sambil
mencampakkan
guling ke bawah.
Dalam posisi ini,
Ayah tidak puas-
puasnya
memandang
tubuhku. Bulu
halus yang
membalut
kulitku semakin
meningkatkan
nafsunya.
Apalagi begitu
pandangannya
mengarah ke
payudaraku.
"Kamu udah
punya pacar,
Wit..?" tanya
Ayah di
telingaku.
Aku hanya
menggeleng
pasrah.
Ayah kemudian
membelai
dadaku dengan
lembut sekali.
Seolah-olah
menemukan
mainan baru,
Ayah mencium
pinggiran
payudaraku.
"Uuhh..," desahku
ketika bulu
kumis yang
dipotong pendek
itu menyentuh
dadaku,
sementara
tangan Ayah
mengelus
pahaku yang
putih. Puting
susu yang masih
merah itu
kemudian
dikulum.
"Yah.. oohh.."
desahku lagi.
" Yah.. nanti
Mamm.." belum
selesai kubicara,
bibir Ayah
dengan sigap
kembali
mengulum
bibirku.
"Ayah sayang
Juita.." kata Ayah
sambil
memandangku.
Sekali lagi aku
hanya terdiam.
Tetapi sewaktu
Ayah mencium
bibirku, aku tidak
diam. Dengan
panasnya kami
saling memagut.
Saat ini kami
sudah tidak
memikirkan
status lagi. Puas
mengecup
putingku, bibir
Ayah pun turun
ke perut dan
berlabuh di
selangkangan.
Ayah memang
pintar
membuatku
terlena. Aku
semakin
terhanyut ketika
bibir itu mencium
kemaluanku.
Lidahnya
kemudian
mencoba
menerobos
masuk. Nikmat
sekali rasanya.
Tubuhku pun
mengejang dan
merasakan ada
sesuatu yang
mengalir cepat,
siap untuk
dimuntahkan.
"Ohh, ohh.."
desahku panjang.
Ayah rupanya
tahu maniku
keluar, lalu dia
mengambil posisi
bersimpuh di
sebelahku. Lalu
mengarahkan
tanganku ke
batang
kemaluannya.
Kaget juga aku
melihat batang
kemaluannya
Ayah, besar dan
tegang. Dengan
mata yang
sedikit tertutup,
aku
menggenggamny
a dengan kedua
tanganku. Setan
yang ada di
tubuh kami
seakan-akan
kompromi.
Tanpa sungkan
aku pun
mengulum benda
itu ketika Ayah
mengarahkannya
ke mulutku.
"Terus Wit.., oh..
nikmatnya.."
gumamnya.
Seperti
berpengalaman,
aku pun
menikmati
permainan ini.
Benda itu keluar
masuk dalam
mulutku. Sesekali
kuhisap dengan
kuat dan
menggigitnya
lembut. Tidak
hanya Ayah yang
merasakan
kenikmatan, aku
pun merasakan
hal serupa.
Tangan Ayah
mempermainkan
kedua putingku
dengan
tangannya.
Karena birahi
yang tidak
tertahankan,
Ayah akhirnya
mengambil posisi
di atas tubuhku
sambil mencium
bibirku dengan
ganas. Kemudian
kejantanannya
Ayah menempel
lembut di
selangkanganku
dan mencoba
menekan. Kedua
kakiku
direntangkannya
untuk
mempermudah
batang
kemaluannya
masuk. Perlahan-
lahan kepala
kontol itu
menyeruak
masuk
menembus
selaput dinding
vaginaku.
"Sakit.. Yah.."
ujarku.
"Tenang Sayang,
kita nikmati
saja.." jawabnya.
Pantat Ayah
dengan lembut
menekan,
sehingga Kontol
yang berukuran
17 cm dan
berdiameter 3
cm itu mulai
tenggelam
keseluruhan.
Ayah melakukan
ayunan-ayunan
lagi. Kuakui, Ayah
memang cukup
lihai. Perasaan
sakit akhirnya
berganti nikmat.
Baru kali ini aku
merasakan
kenikmatan yang
tiada taranya.
Pantas orang
bilang surga
dunia. Aku
mengimbangi
kenikmatan ini
dengan
menggoyang-
goyangkan
pantatku.
"Terus Wit, ya..
seperti itu.."
sebut Ayah
sambil
mempercepat
dorongan
Kontolnya.
"Ayah.. ohh..,
ohh.." renguhku
karena sudah
tidak tahan lagi.
Seketika itu juga
darahku mengalir
cepat, segumpal
cairan putih
meleleh di bibir
vaginaku. Kutarik
leher Ayah
hingga
pundaknya
kugigit keras.
Ayah semakin
terangsang
rupanya. Dengan
perkasa
dikuasainya
diriku.
Vagina yang
sudah basah
berulangkali
diterobos Kontol
Ayah. Tidak
jarang
payudaraku
diremas dan
putingku dihisap.
Rambutku pun
dijambak Ayah.
Birahiku kembali
memuncak.
Selama tiga
menit kami
melakukan gaya
konvensional ini.
Tidak banyak
variasi yang
dilakukan Ayah.
Mungkin karena
baru pertama
kali, dia takut
menyakitiku.
Kenikmatan ini
semakin tidak
tertahankan
ketika kami
berganti gaya.
Dengan posisi 69,
Ayah masih
perkasa. Kontol
Ayah dengan
tanpa kendali
keluar masuk
vaginaku.
"Nikmat Wit..?
Ohh.. uhh.."
tanyanya.
Terus terang,
gaya ini lebih
nikmat dari
sebelumnya.
Berulangkali aku
melenguh dan
mendesah
dibuatnya.
" Yah.. Juita
nggak tahan.."
katakuku
ditengah
terjangan Ayah.
"Sa.. sa.. bar
Sayang.., ta.. ta..
han dulu.." ucap
Ayah terpatah-
patah.
Tetapi aku
sudah tidak kuat
lagi, dan untuk
ketiga kalinya
aku
mengeluarkan
mani kembali.
"Okhh.. Ohkk..
hh..!" teriakku.
Lututku seketika
lemas dan aku
tertelungkup di
ranjang. Dengan
posisi telungkup
di ranjang
membuat Ayah
semakin
belingsatan.
Ayah semakin
kuat menekan
Kontolnya. Aku
memberikan
ruang dengan
mengangkat
pantatku sedikit
ke atas. Tidak
berapa lama dia
pun keluar juga.
"Okhh.. Ohh..
Ohk.." erang
Ayah.
Hangat rasanya
ketika mani
Ayah menyiram
lubang vaginaku.
Dengan peluh di
tubuh, Ayah
menindih
tubuhku. Nafas
kami berdua
tersengal-sengal.
Sekian lama
Ayah
memelukku dari
belakang,
sementara
mataku masih
terpejam
merasakan
kenikmatan yang
baru pertama
kali kualami.
Dengan Kontol
yang masih
bersarang di
vaginaku, dia
mencium lembut
leherku dari
belakang.
"Wit, Ayah
sayang Juita.
Sebelum
menikahi
Mamamu, Ayah
sudah tertarik
sama Juita.."
ucap Ayah
sambil mengelus
rambutku.
Mama dan
adikku, tiga hari
di rumah nenek.
Selama tiga hari
itu pula, aku dan
Ayah mencari
kepuasan
bersama. Entah
setan mana
yang merasuki
kami, dan juga
tidak tahu sudah
berapa kali kami
lakukannya.
Terkadang
malam hari juga,
walaupun Mama
ada di rumah.
Dengan alasan
menonton bola di
TV, Ayah
membangunkank
u, yang jelas
perbuatan ini
kulakukan hingga
sekarang.

Tidak ada komentar: