Jumat, 16 Maret 2012

fantasi bersama bu guru

Namaku
Satria, ini adalah kisah yang baru saja aku alami.
Aku adalah siswa dari salah satu SMA negeri
terkenal. Saat ini aku duduk di kelas tiga jurusan
IPS. Memasuki tahun 2007 berarti persiapan
buatku untk lebih serius belajar menghadapi ujian
akhir. Aku tahu aku tidak begitu pintar, maka itu
aku selalu mencari cara agar guru-guru bisa
membantuku dengan nilai. Cara yang aku
gunakan adalah selalu mengajukan diri untuk
menjadi kordinator pelajaran di sekolah.
Pengalaman menjadi kordinator di kelas tiga inilah
yang membawa diriku ke pengalaman yang tak
akan pernah kulupakan seumur hidup. Awalnya
aku biasa-biasa saja ketika mendengar aku dipilih
menjadi koordinator pelajaran Pendidikan
Pancasila. Namun lama-lama aku senang karena
ternyata bu Sinta lah yang kembali mengajar
kelasku. Ya, bu Sinta adalah guru pancasila saat
aku kelas 2. Di kelas 2, bu Sinta sering jadi bahan
bisik-bisik teman-teman laki2 ku.
Bagaimana tidak, di kelasku itu, meja guru yang
menghadap ke arah murid-murid, di depannya
biasanya khan tertutup, sehingga kaki guru tidak
terlihat dari arah murid, nah, di kelasku mejanya
depannya tidak tertutup, jadi setiap guru yang
duduk selalu kelihatan kaki dan posisi duduknya.
Diantara semua guru, bu Yosi, bu Rahma, bu Tati
dan sebagainya, mereka semua sadar akan
keadaan meja itu dan sadar bagaimana harus
duduk di kursi itu, hanya bu Sinta mutmainah lah
yang tidak sadar. Beliau selalu mngajar sambil
duduk dan memberikan pelajaran mengenai
moral pancasila.
Bu Sinta tidak sadar, jika ia duduk selalu agak
mengangkang dan hampir setiap dia mengajar
anak-anak cowo selalu memaksa duduk di depan
supaya bisa lebih jelas melihat paha bu Sinta dan
celana dalamnya yang berwarna krem.
Banyak teman-teman yang diam-diam
mengambil foto selangkangan bu Sinta dari
bawah meja dengan Handphone, namun
hasilnya selalu tidak memuaskan karena gelap.
Aku pun termasuk salah seorang dari mereka
yang selalu horny lihat paha bu Sinta.
Bu Sinta berusia 43 tahun, dari logat bicaranya,
beliau orang sunda. Kulitnya putih agak keriput
dan kemerahan. Semakin dia tidak memakai
make-up, semakin nafsu teman-temanku
melihatnya. Karena kulitnya menjadi agak
mengkilat.
Kembali ke ceritaku, aku pun semakin sering
berkomunikasi dengan bu Sinta. Dan aku mencari
cara agar aku bisa menarik perhatiannya. Sisi
positifnya membuat aku terpaksa membaca-baca
hal-hal soal moral dan pancasila dan berusaha
mencari-cari pertanyaan untuk sekedar aku
tanyakan kepada bu Sinta. Ini supaya bisa
menjadi alasan untukku lebih dekat dengannya.
Jika berbicara lebih dekat dengan bu Sinta, aku
lihat dari dekat kulitnya yang putih agak berbintik
kemerahan dan keriput sedikit disana sini. Pantas
saja bu Sinta selalu memakai bedak karena
kulitnya akan mengkilat dan berminyak jika polos.
Namun semakin membuatku bernafsu, karena
pikiran ku udah terkotori dengan pengalaman saat
kelas dua. Semaksimal mungkin kubukat bu Sinta
berpikiran bahwa aku adalah siswa yang sangat
tertarik dengan apa yang ia ajarkan, walaupun
sebenarnya tujuanku adalah dekat dengan
dirinya.
Suatu hari aku bertanya apakah aku boleh
meminjam beberapa buku mengenai
nasionalisme yang sering bu Sinta ceritakan
padaku. Bu Sinta bilang boleh saja, kalau mau ke
rumah. Yes! akhirnya berhasil strategiku. Bu Sinta
memberikan alamat rumahnya yang berada di
Perumnas dekat SMA tiga di kotaku.
Malamnya aku tidak bisa tidur, mengatur rencana
seperti apa nanti kalau aku di rumah bu Sinta,
mudah-mudahan suaminya belum pulang. Besok
aku akan ke rumah bu Sinta sepulang sekolah,
kudengar suami bu Sinta PNS di departemen
pendidikan daerah, mudah-mudahan suaminya
belum pulang sekitar jam dua sampai jam empat.
Esoknya sepulang sekolah aku langsung ke
rumah bu Sinta. Tak disangka, saat aku sedang
menyetop angkot untuk pergi ke rumah bu Sinta,
ternyata bu Sinta juga tengah menunggu angkot.
“Eh, Rif, mo krumah ibu? ya sudah bareng saja”,
aku senang sekali aku bisa pergi sama bu Sinta.
Aku duduk bersebelahan bu Sinta di kursi depan
angkot. Ooh, pahaku bersentuhan dengan
pahanya yang mulus, aku takut ketahuan kalau
penisku sudah mulai mengeras, maka aku tutupi
dengan tasku.
Sepanjang perjalanan bu Sinta cerita tentang
keluarganya dan terkadang sedikit menanyakan
tentang keluargaku. Aku berbohong bahwa aku
sudah lama tidak mendapat kasih sayang seorang
ibu, karena aku hidup terpisah, lalu aku bilang
senang karena aku merasa bisa mendapatkan
kenyamanan jika berbicara dan ngobrol dengan
bu Sinta, rasanya bu Sinta sudah kuanggap ibu
sendiri.
Bu Sinta terharu dan Memegang tanganku!! Kata
beliau, beliau senang mendengarnya lagian
menurutnya aku anak yang baik. Dalam benakku,
ya, aku memang anak “baik”, yang siap
menikmati tubuh ibu. Aduh penisku sampai
keluar pelumas saat itu, basah sekali.
Dua puluh menit kemudian, sampailah kami di
rumah beliau. Ternyata dugaanku benar, tidak
ada seorangpun di rumah beliau. Aku
dipersilahkan duduk di ruang tamu.
Bu Sinta bilang tunggu sebentar untuk ganti baju.
Ganti baju??! dalam benakku aduh ingin sekali aku
mengintip beliau ganti baju. Aku deg-degan,
mataku mengarah kemana bu Sinta pergi.
Beberapa menit bu Sinta keluar. Masih memakai
baju gurnya sambil membawa buku. Yah,
ternyata hari itu belum waktunya untukku, tapi ini
adalah awal dari pengalaman yang sebenarnya.
Sejak itu aku jadi sering ke rmah bu Sinta dan
kenal dengan keluarganya. Akhirnya puncak
pegalaman ini, saat aku pura-pura menangis
sedih frustasi akibat ayahku mau menikah lagi
dan aku tidak setuju, karena itu ayahku
mengusirku dan tidak boleh pulang ke rumah.
Tentu saja ceritanya aku karang sendiri.
Bu Sinta sangat bersimpati padaku, saat aku cerita
panjang lebar di rumahnya tidak ada siapa-siapa,
bu Sinta saat itu memakai daster dan tanpa make-
up duduk disebelaku sambil memegang
pundakku. Aku menangis pura-pura, bu Sinta
menenangkan ku dengan memelukku.
Mmh, aku menyentuh pinggiran payudara bu
Sinta. Akhirnya aku mencium aroma tubuhnya.
Aku mempererat pelukanku dan kepalaku aku
sandarkan di leher bu Sinta. aku bisa menghirup
aroma lehernya. Bu Sinta memelukku erat pula.
Secara nekat kuberanikan diriku untuk mencium
pipi bu Sinta secara lembut. Dan bilang kalau aku
minta maaf tapi aku merasa cuma bisa tenang
jika dekat ibu Sinta. Bu Sinta bilang tidak apa-apa.
Aku pun memberanikan mencium pipinya lagi,
tapi kali ini lebih dekat ke pinggiran bibir, cukup
lama kutempelkan bibirku di pinggiran bibirnya.
Bu Sinta diam saja sambil terus memelukku dan
mengelus-elus punggunggu sambil
menenangkan. Apakah bu Sinta terasa bahwa
penisku yang sudah menegang kutempelkan di
pahanya. Ku coba menggesek-gesekkan perlahan
penisku ke paha bu Sinta.
Bu Sinta tahu. Namun beliau diam saja. Aku
pegang pipi beliau, tentunya air mataku masih
mengalir, sambil aku lekatkan bibirku dengan
bibirnya sambil berkata “Ibu…”, bibir bu Sinta
tidak terbuka, beliau tetap diam, walaupun bibirku
bergerak-gerak mencium bibirnya.
Berbarengan dengan itu, aku tekan dan gesekkan
terus penisku yang sudah basah ke paha bu
Sinta. Kami berdua duduk di sofa. Bu Sinta tahu
aku sedang apa dan beliau diam saja, mebiarkan
ku beronani dengan menggunakan paha dan
bibirnya sebagai media masturbasiku.
Aku gesek-gesekkan terus dan terus, bu Mumun
tampaknya memejamkan mata dan tidak berkata
apa-apa. OOh pembaca, wajahnya aku ciumi,
nafasnya aku hirup, dan pahanya yang besar dan
lembut aku tekan-telan dengan penis, gesek
terus.. Ooh..terus… Dan akhirnya ouuhh.. Cepat
sekali aku ejakulasi.
Aku pun lemas sambil memeluk ibu Sinta yang
hampir posisinya setengah tertidur di sofa akibat
aku tekan terus. Bu Sinta pelan-pelan bilang,
“udah..? hm?”, kata bu Sinta pelan dan terdengar
sayang sekali denganku. Aku minta maaf sekali
lagi dan bu Sinta bilang ia mengerti.
Tentunya setelah kejadian itu, aku semakin dekat
dengan ibu, sampai detik ini.. Suaminya dan
teman-temanku tidak tahu hubungan kami.
Walaupun aku belum sampai berhubungan seks
dengan bu Sinta, namun bu Sinta selalu tahu dan
bersedia menjadi media onaniku, dengan syarat
pakaian kami masih kami kenakan, bu Sinta
hanya menyediakan pahanya dan
memperbolehkan aku menindihnya dan
menekan-nekan penisku ke paha dekat
selangkangannya sampai aku dapat klimaks.
Maka itu, aku selalu membawa celana dalam
cadangan saat aku bilang ke bu Sinta kalau aku
ingin ke rumah ibu Sinta. Bu Sinta, Satria sayang
sama ibu. Biarlah Satria tidak berhubungan seks
dengan ibu tapi adanya ibu cukup membuat
Satria bahagia. Bisa klimaks di atas tubuh ibu dan
mencium bibir ibu

Tidak ada komentar: