Senin, 21 November 2011

bercinta dgn mantan murid

Namaku Asmiati, tinggi 160 sentimeter, berat 56 kilogram, lingkar
pinggang 65 sentimeter. Secara keseluruhan, sosokku kencang,
garis tubuhku tampak bila mengenakan pakaian yang ketat
terutama pakaian senam. Aku adalah Ibu dari dua anak berusia 44
tahun dan bekerja sebagai seorang guru disebuah SLTA di kota S.
Kata orang tahi lalat di daguku seperti Berliana Febriyanti, dan
bentuk tubuhku mirip Minati Atmanegara yang tetap kencang di usia
yang semakin menua. Mungkin mereka ada benarnya, tetapi aku
memiliki payudara yang lebih besar sehingga terlihat lebih
menggairahkan dibanding artis yang kedua. Semua karunia itu
kudapat dengan olahraga yang teratur.
Kira-kira 6 tahun yang lalu saat usiaku masih 38 tahun salah
seorang sehabatku menitipkan anaknya yang ingin kuliah di
tempatku, karena ia teman baikku dan suamiku tidak keberatan
akhirnya aku menyetujuinya. Nama pemuda itu Sandi, kulitnya
kuning langsat dengan tinggi 173 cm. Badannya kurus kekar
karena Sandi seorang atlit karate di tempatnya. Oh ya, Sandi ini
pernah menjadi muridku saat aku masih menjadi guru SD.
Sandi sangat sopan dan tahu diri. Dia banyak membantu pekerjaan
rumah dan sering menemani atau mengantar kedua anakku jika
ingin bepergian. Dalam waktu sebulan saja dia sudah menyatu
dengan keluargaku, bahkan suamiku sering mengajaknya main
tenis bersama. Aku juga menjadi terbiasa dengan kehadirannya,
awalnya aku sangat menjaga penampilanku bila di depannya. Aku
tidak malu lagi mengenakan baju kaos ketat yang bagian dadanya
agak rendah, lagi pula Sandi memperlihatkan sikap yang wajar jika
aku mengenakan pakaian yang agak menonjolkan keindahan garis
tubuhku.
Sekitar 3 bulan setelah kedatangannya, suamiku mendapat tugas
sekolah S-2 keluar negeri selama 2, 5 tahun. Aku sangat berat
melepasnya, karena aku bingung bagaimana menyalurkan
kebutuhan sex-ku yang masih menggebu-gebu. Walau usiaku
sudah tidak muda lagi, tapi aku rutin melakukannya dengan
suamiku, paling tidak seminggu 5 kali. Mungkin itu karena olahraga
yang selalu aku jalankan, sehingga hasrat tubuhku masih seperti
anak muda. Dan kini dengan kepergiannya otomatis aku harus
menahan diri.
Awalnya biasa saja, tapi setelah 2 bulan kesepian yang amat
sangat menyerangku. Itu membuat aku menjadi uring-uringan dan
menjadi malas-malasan. Seperti minggu pagi itu, walau jam telah
menunjukkan angka 9. Karena kemarin kedua anakku minta diantar
bermalam di rumah nenek mereka, sehingga hari ini aku ingin tidur
sepuas-puasnya. Setelah makan, aku lalu tidur-tiduran di sofa di
depan TV. Tak lama terdengar suara pintu dIbuka dari kamar
Sandi.
Kudengar suara langkahnya mendekatiku.
“Bu Asmi..?” Suaranya berbisik, aku diam saja. Kupejamkan mataku
makin erat. Setelah beberapa saat lengang, tiba-tiba aku tercekat
ketika merasakan sesuatu di pahaku. Kuintip melalui sudut mataku,
ternyata Sandi sudah berdiri di samping ranjangku, dan matanya
sedang tertuju menatap tubuhku, tangannya memegang bagian
bawah gaunku, aku lupa kalau aku sedang mengenakan baju tidur
yang tipis, apa lagi tidur telentang pula. Hatiku menjadi berdebar-
debar tak karuan, aku terus berpura-pura tertidur.
“Bu Asmi..?” Suara Sandi terdengar keras, kukira dia ingin
memastikan apakah tidurku benar-benar nyeyak atau tidak.
Aku memutuskan untuk pura-pura tidur. Kurasakan gaun tidurku
tersingkap semua sampai keleher.
Lalu kurasakan Sandi mengelus bibirku, jantungku seperti
melompat, aku mencoba tetap tenang agar pemuda itu tidak curiga.
Kurasakan lagi tangan itu mengelus-elus ketiakku, karena
tanganku masuk ke dalam bantal otomatis ketiakku terlihat. Kuintip
lagi, wajah pemuda itu dekat sekali dengan wajahku, tapi aku yakin
ia belum tahu kalau aku pura-pura tertidur kuatur napas selembut
mungkin.
Lalu kurasakan tangannya menelusuri leherku, bulu kudukku
meremang geli, aku mencoba bertahan, aku ingin tahu apa yang
ingin dilakukannya terhadap tubuhku. Tak lama kemuadian aku
merasakan tangannya meraba buah dadaku yang masih tertutup BH
berwarna hitam, mula-mula ia cuma mengelus-elus, aku tetap diam
sambil menikmati elusannya, lalu aku merasakan buah dadaku mulai
diremas-remas, aku merasakan seperti ada sesuatu yang sedang
bergejolak di dalam tubuhku, aku sudah lama merindukan sentuhan
laki-laki dan kekasaran seorang pria. Aku memutuskan tetap diam
sampai saatnya tiba.
Sekarang tangan Sandi sedang berusaha membuka kancing BH-ku
dari depan, tak lama kemudian kurasakan tangan dingin pemuda itu
meremas dan memilin puting susuku. Aku ingin merintih nikmat tapi
nanti amalah membuatnya takut, jadi kurasakan remasannya dalam
diam. Kurasakan tangannya gemetar saat memencet puting susuku,
kulirik pelan, kulihat Sandi mendekatkan wajahnya ke arah buah
dadaku. Lalu ia menjilat-jilat puting susuku, tubuhku ingin
menggeliat merasakan kenikmatan isapannya, aku terus bertahan.
Kulirik puting susuku yang berwarna merah tua sudah mengkilat
oleh air liurnya, mulutnya terus menyedot puting susuku disertai
gigitan-gigitan kecil. Perasaanku campur aduk tidak karuan, nikmat
sekali.
Tangan kanan Sandi mulai menelusuri selangkanganku, lalu
kurasakan jarinya meraba vaginaku yang masih tertutup CD, aku
tak tahu apakah vaginaku sudah basah apa belum. Yang jelas
jari-jari Sandi menekan-nekan lubang vaginaku dari luar CD, lalu
kurasakan tangannya menyusup masuk ke dalam CD-ku. Jantungku
berdetak keras sekali, kurasakan kenikmatan menjalari tubuhku.
Jari-jari Sandi mencoba memasuki lubang vaginaku, lalu kurasakan
jarinya amblas masuk ke dalam, wah nikmat sekali. Aku harus
mengakhiri Sandiwaraku, aku sudah tak tahan lagi, kubuka mataku
sambil menyentakkan tubuhku.
“Sandi!! Ngapain kamu?”
Aku berusaha bangun duduk, tapi tangan Sandi menekan pundakku
dengan keras. Tiba-tiba Sandi mecium mulutku secepat kilat, aku
berusaha memberontak dengan mengerahkan seluruh tenagaku.
Tapi Sandi makin keras menekan pundakku, malah sekarang
pemuda itu menindih tubuhku, aku kesulitan bernapas ditindih
tubuhnya yang besar dan kekar berotot. Kurasakan mulutnya
kembali melumat mulutku, lidahnya masuk ke dalam mulutku, tapi
aku pura-pura menolak.
“Bu.., maafkan saya. Sudah lama saya ingin merasakan ini, maafkan
saya Bu… ” Sandi melepaskan ciumannya lalu memandangku dengan
pandangan meminta.
“Kamu kan bisa denagan teman-teman kamu yang masih muda.
Ibukan sudah tua,” Ujarku lembut.
“Tapi saya sudah tergila-gila dengan Bu Asmi.. Saat SD saya
sering mengintip BH yang Ibu gunakan… Saya akan memuaskan Ibu
sepuas-puasnya,” jawab Sandi.
“Ah kamu… Ya sudah terserah kamu sajalah”
Aku pura-pura menghela napas panjang, padahal tubuhku sudah
tidak tahan ingin dijamah olehnya.
Lalu Sandi melumat bibirku dan pelan-pelan aku meladeni permainan
lidahnya. Kedua tangannya meremas-remas pantatku. Untuk
membuatnya semakin membara, aku minta izin ke WC yang ada di
dalam kamar tidurku. Di dalam kamar mandi, kubuka semua pakaian
yang ada di tubuhku, kupandangi badanku di cermin. Benarkah
pemuda seperti Sandi terangsang melihat tubuhku ini? Perduli amat
yang penting aku ingin merasakan bagaimana sich bercinta dengan
remaja yang masih panas.
Keluar dari kamar mandi, Sandi persis masuk kamar. Matanya
terbeliak melihat tubuh sintalku yang tidak berpenutup sehelai
benangpun.
“Body Ibu bagus banget.. ” dia memuji sembari mengecup putting
susuku yang sudah mengeras sedari tadi. Tubuhku
disandarkannya di tembok depan kamar mandi. Lalu diciuminya
sekujur tubuhku, mulai dari pipi, kedua telinga, leher, hingga ke
dadaku. Sepasang payudara montokku habis diremas-remas dan
diciumi. Putingku setengah digigit-gigit, digelitik-gelitik dengan
ujung lidah, juga dikenyot-kenyot dengan sangat bernafsu.
“Ibu hebat…,” desisnya.
“Apanya yang hebat..?” Tanyaku sambil mangacak-acak rambut
Sandi yang panjang seleher.
“Badan Ibu enggak banyak berubah dibandingkan saya SD dulu”
Katanya sambil terus melumat puting susuku. Nikmat sekali.
“Itu karena Ibu teratur olahraga” jawabku sembari meremas
tonjolan kemaluannya. Dengan bergegas kuloloskan celana hingga
celana dalamnya. Mengerti kemauanku, dia lalu duduk di pinggir
ranjang dengan kedua kaki mengangkang. DIbukanya sendiri baju
kaosnya, sementara aku berlutut meraih batang penisnya,
sehingga kini kami sama-sama bugil.
Agak lama aku mencumbu kemaluannya, Sandi minta gantian, dia
ingin mengerjai vaginaku.
“Masukin aja yuk, Ibu sudah ingin ngerasain penis kamu San!”
Cegahku sambil menciumnya.
Sandi tersenyum lebar. “Sudah enggak sabar ya ?” godanya.
“Kamu juga sudah enggak kuatkan sebenarnya San,” Balasku
sambil mencubit perutnya yang berotot.
Sandi tersenyum lalu menarik tubuhku. Kami berpelukan, berciuman
rapat sekali, berguling-guling di atas ranjang. Ternyata Sandi
pintar sekali bercumbu. Birahiku naik semakin tinggi dalam waktu
yang sangat singkat. Terasa vaginaku semakin berdenyut-denyut,
lendirku kian membanjir, tidak sabar menanti terobosan batang
kemaluan Sandi yang besar.
Berbeda dengan suamiku, Sandi nampaknya lebih sabar. Dia tidak
segera memasukkan batang penisnya, melainkan terus menciumi
sekujur tubuhku. Terakhir dia membalikkan tubuhku hingga
menelungkup, lalu diciuminya kedua pahaku bagian belakang, naik
ke bongkahan pantatku, terus naik lagi hingga ke tengkuk.
Birahiku menggelegak-gelegak.
Sandi menyelipkan tangan kirinya ke bawah tubuhku, tubuh kami
berimpitan dengan posisi aku membelakangi Sandi, lalu diremas-
remasnya buah dadaku. Lidahnya terus menjilat-jilat tengkuk,
telinga, dan sesekali pipiku. Sementara itu tangan kanannya
mengusap-usap vaginaku dari belakang. Terasa jari tengahnya
menyusup lembut ke dalam liang vaginaku yang basah merekah.
“Vagina Ibu bagus, tebel, pasti enak ‘bercinta’ sama Ibu…,” dia
berbisik persis di telingaku. Suaranya sudah sangat parau,
pertanda birahinya pun sama tingginya dengan aku. Aku tidak bisa
bereaksi apapun lagi. Kubiarkan saja apapun yang dilakukan
Sandi, hingga terasa tangan kanannya bergerak mengangkat
sebelah pahaku.
Mataku terpejam rapat, seakan tak dapat lagi membuka. Terasa
nafas Sandi semakin memburu, sementara ujung lidahnya
menggelitiki lubang telingaku. Tangan kirinya menggenggam dan
meremas gemas buah dadaku, sementara yang kanan mengangkat
sebelah pahaku semakin tinggi. Lalu…, terasa sebuah benda tumpul
menyeruak masuk ke liang vaginaku dari arah belakang. Oh, my
God, dia telah memasukkan rudalnya…!!!
Sejenak aku tidak dapat bereaksi sama sekali, melainkan hanya
menggigit bibir kuat-kuat. Kunikmati inci demi inci batang kemaluan
Sandi memasuki liang vaginaku. Terasa penuh, nikmat luar biasa.
“Oohh…,” sesaat kemudian aku mulai bereaksi tak karuan.
Tubuhku langsung menggerinjal-gerinjal, sementara Sandi mulai
memaju mundurkan tongkat wasiatnya. Mulutku mulai merintih-rintih
tak terkendali.
“Saann, penismu enaaak…!!!,” kataku setengah menjerit.
Sandi tidak menjawab, melainkan terus memaju mundurkan
rudalnya. Gerakannya cepat dan kuat, bahkan cenderung kasar.
Tentu saja aku semakin menjerit-jerit dibuatnya. Batang penisnya
yang besar itu seperti hendak membongkar liang vaginaku sampai
ke dasar.
“Oohh…, toloongg.., gustii…!!!”
Sandi malah semakin bersemangat mendengar jerit dan rintihanku.
Aku semakin erotis.
“Aahh, penismu…, oohh, aarrghh…, penismuu…, oohh…!!!”
Sandi terus menggecak-gecak. Tenaganya kuat sekali, apalagi
dengan batang penis yang luar biasa keras dan kaku. Walaupun
kami bersetubuh dengan posisi menyamping, nampaknya Sandi
sama sekali tidak kesulitan menyodokkan batang kemaluannya
pada vaginaku. Orgasmeku cepat sekali terasa akan meledak.
“Ibu mau keluar! Ibu mau keluaaar!!” aku menjerit-jerit.
“Yah, yah, yah, aku juga, aku juga! Enak banget ‘bercinta’ sama
Ibu!” Sandi menyodok-nyodok semakin kencang.
“Sodok terus, Saann!!!… Yah, ooohhh, yahh, ugghh!!!”
“Teruuss…, arrgghh…, sshh…, ohh…, sodok terus penismuuu…!”
“Oh, ah, uuugghhh… “
“Enaaak…, penis kamu enak, penis kamu sedap, yahhh,
teruuusss…”
Pada detik-detik terakhir, tangan kananku meraih pantat Sandi,
kuremas bongkahan pantatnya, sementara paha kananku
mengangkat lurus tinggi-tinggi. Terasa vaginaku berdenyut-
denyut kencang sekali. Aku orgasme!
Sesaat aku seperti melayang, tidak ingat apa-apa kecuali nikmat
yang tidak terkatakan. Mungkin sudah ada lima tahun aku tak
merasakan kenikmatan seperti ini. Sandi mengecup-ngecup pipi
serta daun telingaku. Sejenak dia membiarkan aku mengatur nafas,
sebelum kemudian dia memintaku menungging. Aku baru sadar
bahwa ternyata dia belum mencapai orgasme.
Kuturuti permintaan Sandi. Dengan agak lunglai akibat orgasme
yang luar biasa, kuatur posisi tubuhku hingga menungging. Sandi
mengikuti gerakanku, batang kemaluannya yang besar dan
panjang itu tetap menancap dalam vaginaku.
Lalu perlahan terasa dia mulai mengayun pinggulnya. Ternyata dia
luar biasa sabar. Dia memaju mundurkan gerak pinggulnya satu-
dua secara teratur, seakan-akan kami baru saja memulai
permainan, padahal tentu perjalanan birahinya sudah cukup tinggi
tadi.
Aku menikmati gerakan maju-mundur penis Sandi dengan diam.
Kepalaku tertunduk, kuatur kembali nafasku. Tidak berapa lama,
vaginaku mulai terasa enak kembali. Kuangkat kepalaku, menoleh
ke belakang. Sandi segera menunduk, dikecupnya pipiku.
“San.. Kamu hebat banget.. Ibu kira tadi kamu sudah hampir
keluar,” kataku terus terang.
“Emangnya Ibu suka kalau aku cepet keluar?” jawabnya lembut di
telingaku.
Aku tersenyum, kupalingkan mukaku lebih ke belakang. Sandi
mengerti, diciumnya bibirku. Lalu dia menggenjot lebih cepat. Dia
seperti mengetahui bahwa aku mulai keenakan lagi. Maka
kugoyang-goyang pinggulku perlahan, ke kiri dan ke kanan.
Sandi melenguh. Diremasnya kedua bongkah pantatku, lalu
gerakannya jadi lebih kuat dan cepat. Batang kemaluannya yang
luar biasa keras menghunjam-hunjam vaginaku. Aku mulai
mengerang-erang lagi.
“Oorrgghh…, aahh…, ennaak…, penismu enak bangeett… Ssann!!”
Sandi tidak bersuara, melainkan menggecak-gecak semakin kuat.
Tubuhku sampai terguncang-guncang. Aku menjerit-jerit. Cepat
sekali, birahiku merambat naik semakin tinggi. Kurasakan Sandi pun
kali ini segera akan mencapai klimaks. Maka kuimbangi gerakannya
dengan menggoyangkan pinggulku cepat-cepat. Kuputar-putar
pantatku, sesekali kumajumundurkan berlawanan dengan gerakan
Sandi. Pemuda itu mulai mengerang-erang pertanda dia pun segera
akan orgasme.
Tiba-tiba Sandi menyuruhku berbalik. Dicabutnya penisnya dari
kemaluanku. Aku berbalik cepat. Lalu kukangkangkan kedua kakiku
dengan setengah mengangkatnya. Sandi langsung menyodokkan
kedua dengkulnya hingga merapat pada pahaku. Kedua kakiku
menekuk mengangkang. Sandi memegang kedua kakiku di bawah
lutut, lalu batang penisnya yang keras menghunjam mulut vaginaku
yang menganga.
“Aarrgghhh…!!!” aku menjerit.
“Aku hampir keluar!” Sandi bergumam. Gerakannya langsung cepat
dan kuat. Aku tidak bisa bergoyang dalam posisi seperti itu, maka
aku pasrah saja, menikmati gecakan-gecakan keras batang
kemaluan Sandi. Kedua tanganku mencengkeram sprei kuat-kuat.
“Terus, Sayang…, teruuusss…!”desahku.
“Ooohhh, enak sekali…, aku keenakan…, enak ‘bercinta’ sama
Ibu!” Erang Sandi
“Ibu juga, Ibu juga, vagina Ibu keenakaan…!” Balasku.
“Aku sudah hampir keluar, Buu…, vagina Ibu enak bangeet… “
“Ibu juga mau keluar lagi, tahan dulu! Teruss…, yaah, aku juga
mau keluarr!”
“Ah, oh, uughhh, aku enggak tahan, aku enggak tahan, aku mau
keluaaar…!”
“Yaahh teruuss, sodok teruss!!! Ibu enak enak, Ibu enak, Saann…,
aku mau keluar, aku mau keluar, vaginaku keenakan, aku
keenakan ‘bercinta’ sama kamu…, yaahh…, teruss…, aarrgghh…,
ssshhh…, uughhh…, aarrrghh!!!”
Tubuhku mengejang sesaat sementara otot vaginaku terasa
berdenyut-denyut kencang. Aku menjerit panjang, tak kuasa
menahan nikmatnya orgasme. Pada saat bersamaan, Sandi
menekan kuat-kuat, menghunjamkan batang kemaluannya dalam-
dalam di liang vaginaku.
“Oohhh…!!!” dia pun menjerit, sementara terasa kemaluannya
menyembur-nyemburkan cairan mani di dalam vaginaku. Nikmatnya
tak terkatakan, indah sekali mencapai orgasme dalam waktu persis
bersamaan seperti itu.
Lalu tubuh kami sama-sama melunglai, tetapi kemaluan kami masih
terus bertautan. Sandi memelukku mesra sekali. Sejenak kami
sama-sama sIbuk mengatur nafas.
“Enak banget,” bisik Sandi beberapa saat kemudian.
“Hmmm…” Aku menggeliat manja. Terasa batang kemaluan Sandi
bergerak-gerak di dalam vaginaku.
“Vagina Ibu enak banget, bisa nyedot-nyedot gitu…”
“Apalagi penis kamu…, gede, keras, dalemmm…”
Sandi bergerak menciumi aku lagi. Kali ini diangkatnya tangan
kananku, lalu kepalanya menyusup mencium ketiakku. Aku mengikik
kegelian. Sandi menjilati keringat yang membasahi ketiakku. Geli,
tapi enak. Apalagi kemudian lidahnya terus menjulur-julur menjilati
buah dadaku.
Sandi lalu menetek seperti bayi. Aku mengikik lagi. Putingku dihisap,
dijilat, digigit-gigit kecil. Kujambaki rambut Sandi karena
kelakuannya itu membuat birahiku mulai menyentak-nyentak lagi.
Sandi mengangkat wajahnya sedikit, tersenyum tipis, lalu berkata,
“Aku bisa enggak puas-puas ‘bercinta’ sama Ibu… Ibu juga suka
kan?”
Aku tersenyum saja, dan itu sudah cukup bagi Sandi sebagai
jawaban. Alhasil, seharian itu kami bersetubuh lagi. Setelah break
sejenak di sore hari malamnya Sandi kembali meminta jatah dariku.
Sedikitnya malam itu ada 3 ronde tambahan yang kami mainkan
dengan entah berapa kali aku mencapai orgasme. Yang jelas,
keesokan paginya tubuhku benar-benar lunglai, lemas tak
bertenaga.
Hampir tidak tidur sama sekali, tapi aku tetap pergi ke sekolah. Di
sekolah rasanya aku kuyu sekali. Teman-teman banyak yang
mengira aku sakit, padahal aku justru sedang happy, sehabis
bersetubuh sehari semalam dengan bekas muridku yang perkasa.

Tidak ada komentar: