Kamis, 24 November 2011
guru bahasa inggris bohay
cerita ini
terjadi saat aku waktu masih
kuliah. Cerita Sex yang
coba ingin aku bagi kepada
kawan-kawan semua adalah
pengalaman cerita dewasa
dan cerita sex ku dengan
dosen kuliahku. Ia mengajar
mata kuliah bahasa inggris.
Sejalan dengan waktu, kini
aku bisa kuliah di
universitas keinginanku.
Namaku Jack, sekarang aku
tinggal di Yogyakarta dengan
fasilitas yang sangat baik
sekali. Kupikir aku cukup
beruntung bisa bekerja
sambil kuliah sehingga aku
mempunyai penghasilan
tinggi.
Berawal dari reuni SMA-ku di
Jakarta. Setelah itu aku
bertemu dengan dosen
bahasa inggrisku, kami
ngobrol dengan akrabnya.
Ternyata Ibu Shinta masih
segar bugar dan amat
menggairahkan.
Penampilannya amat
menakjubkan, memakai rok
mini yang ketat, kaos top
tank sehingga lekuk
tubuhnya nampak begitu
jelas. Jelas saja dia masih
muda sebab sewaktu aku
SMA dulu dia adalah guru
termuda yang mengajar di
sekolah kami. Sekolahku itu
cuma terdiri dari dua kelas,
kebanyakan siswanya adalah
wanita. Cukup lama aku
ngobrol dengan Ibu Shinta,
kami rupanya tidak sadar
waktu berjalan dengan cepat
sehingga para undangan
harus pulang. Lalu kami pun
berjalan munuju ke pintu
gerbang sambil menyusuri
ruang kelas tempatku belajar
waktu SMA dulu.
Tiba-tiba Ibu Shinta teringat
bahwa tasnya tertinggal di
dalam kelas sehinga kami
terpaksa kembali ke kelas.
Waktu itu kira-kira hampir
jam dua belas malam, tinggal
kami berdua. Lampu-lampu di
tengah lapangan saja yang
tersisa. Sesampainya di
kelas, Ibu Shinta pun
mengambil tasnya kemudian
aku teringat akan masa lalu
bagaimana rasanya di kelas
bersama dengan teman-
teman. Lamunanku buyar
ketika Ibu Shinta
memanggilku.
“Kenapa Jack”
“Ah.. tidak apa-apa”,
jawabku. (sebetulnya
suasana hening dan amat
merinding itu membuat
hasratku bergejolak apalagi
ada Ibu Shinta di sampingku,
membuat jantungku selalu
berdebar-debar).
“Ayo Jack kita pulang, nanti
Ibu kehabisan angkutan”,
kata Ibu Shinta.
“Sebaiknya Ibu saya antar
saja dengan mobil saya”,
jawabku dengan ragu-ragu.
“Terima kasih Jack”.
Tanpa sengaja aku
mengutarakan isi hatiku
kepada Ibu Shinta bahwa aku
suka kepadanya, “Oh my
God what i’m doing”, dalam
hatiku. Ternyata keadaan
berkata lain, Ibu Shinta
terdiam saja dan langsung
keluar dari ruang kelas. Aku
panik dan berusaha minta
maaf. Ibu Shinta ternyata
sudah cerai dengan
suaminya yang bule itu,
katanya suaminya pulang ke
negaranya. Aku tertegun
dengan pernyataan Ibu
Shinta. Kami berhenti sejenak
di depan kantornya lalu Ibu
Shinta mengeluarkan kunci
dan masuk ke kantornya,
kupikir untuk apa masuk ke
dalam kantornya malam-
malam begini. Aku semakin
penasaran lalu masuk dan
bermaksud mengajaknya
pulang tapi Ibu Shinta
menolak. Aku merasa tidak
enak lalu menunggunya,
kurangkul pundak Ibu Shinta,
dengan cepat Ibu Shinta
hendak menolak tetapi ada
kejadian yang tak terduga,
Ibu Shinta menciumku dan
aku pun membalasnya.
Ohh.., alangkah senangnya
aku ini, lalu dengan cepat
aku menciumnya dengan
segala kegairahanku yang
terpendam. Ternyata Ibu
Shinta tak mau kalah, ia
menciumku dengan hasrat
yang sangat besar
mengharapkan kehangatan
dari seorang pria. Dengan
sengaja aku menyusuri
dadanya yang besar, Ibu
Shinta terengah sehingga
ciuman kami bertambah
panas kemudian terjadi
pergumulan yang sangat
seru. Ibu Shinta memainkan
tangannya ke arah batang
kemaluanku sehingga aku
sangat terangsang. Lalu aku
meminta Ibu Shinta membuka
bajunya, satu persatu
kancing bajunya dibukanya
dengan lembut, kutatap
dengan penuh hasrat.
Ternyata dugaanku salah,
dadanya yang kusangka
kecil ternyata amat besar
dan indah, BH-nya berwarna
hitam berenda yang
modelnya amat seksi.
Karena tidak sabar maka
kucium lehernya dan kini Ibu
Shinta setengah telanjang,
aku tidak mau langsung
menelanjanginya, sehingga
perlahan-lahan kunikmati
keindahan tubuhnya. Aku pun
membuka baju sehingga
badanku yang tegap dan
atletis membangkitkan gairah
Ibu Shinta, “Jack kukira Ibu
mau bercinta denganmu
sekarang.., Jack, tutup
pintunya dulu dong”,
bisiknya dengan suara agak
bergetar, mungkin menahan
birahinya yang juga mulai
naik
Tanpa disuruh dua kali,
secepat kilat aku segera
menutup pintu depan. Tentu
agar keadaan aman dan
terkendali. Setelah itu aku
kembali ke Ibu Shinta. Kini
aku jongkok di depannya.
Menyibak rok mininya dan
merenggangkan kedua
kakinya. Wuih, betapa mulus
kedua pahanya. Pangkalnya
tampak menggunduk
dibungkus celana dalam
warna hitam yang amat minim.
Sambil mencium pahanya
tanganku menelusup di
pangkal pahanya, meremas-
remas liang senggamanya
dan klitorisnya yang juga
besar. Lidahku makin naik ke
atas. Ibu Shinta
menggelinjang kegelian
sambil mendesah halus.
Akhirnya jilatanku sampai di
pangkal pahanya.
“Mau apa kau sshh… sshh”,
tanyanya lirih sambil
memegangi kapalaku erat-
erat.
“Ooo… oh.. oh..”, desis Ibu
Shinta keenakan ketika
lidahku mulai bermain-main di
gundukan liang
kenikmatannya. Tampak dia
keenakan meski masih
dibatasi celana dalam.
Serangan pun kutingkatkan.
Celananya kulepaskan.
Sekarang perangkat rahasia
miliknya berada di depan
mataku. Kemerahan dengan
klitoris yang besar sesuai
dengan dugaanku. Di
sekelilingnya ditumbuhi
rambut yang tidak begitu
lebat. Lidahku kemudian
bermain di bibir kemaluannya.
Pelan-pelan mulai masuk ke
dalam dengan gerakan-
gerakan melingkar yang
membuat Ibu Shinta makin
keenakan, sampai harus
mengangkat-angkat
pinggulnya. “Aahh… Kau
pintar sekali. Belajar dari
mana hh…”
Tanpa sungkan-sungkan Ibu
Shinta mencium bibirku. Lalu
tangannya menyentuh
celanaku yang menonjol
akibat batang kemaluanku
yang ereksi maksimal,
meremas-remasnya
beberapa saat. Betapa
lembut ciumannya, meski
masih polos. Aku segera
menjulurkan lidahku,
memainkan di rongga
mulutnya. Lidahnya kubelit
sampai dia seperti hendak
tersendak. Semula Ibu Shinta
seperti akan memberontak
dan melepaskan diri, tapi tak
kubiarkan. Mulutku seperti
melekat di mulutnya. “Uh
kamu pengalaman sekali ya.
Sama siapa? Pacarmu?”,
tanyanya diantara kecipak
ciuman yang membara dan
mulai liar. Aku tak menjawab.
Tanganku mulai
mempermainkan kedua
payudaranya yang tampak
menggairahkan itu. Biar tidak
merepotkanku, BH-nya
kulepas. Kini dia telanjang
dada. Tak puas, segera
kupelorotkan rok mininya.
Nah kini dia telanjang bulat.
Betapa bagus tubuhnya.
Padat, kencang dan putih
mulus.
“Nggak adil. Kamu juga
harus telanjang..” Ibu Shinta
pun melucuti kaos, celanaku,
dan terakhir celana dalamku.
Batang kemaluanku yang
tegak penuh segera
diremas-remasnya. Tanpa
dikomando kami rebah di
atas ranjang, berguling-
guling, saling menindih. Aku
menunduk ke
selangkangannya, mencari
pangkal kenikmatan miliknya.
Tanpa ampun lagi mulut dan
lidahku menyerang daerah
itu dengan liar. Ibu Shinta
mulai mengeluarkan jeritan-
jeritan tertahan menahan
nikmat. Hampir lima menit kami
menikmati permainan itu.
Selanjutnya aku merangkak
naik. Menyorongkan batang
kemaluanku ke mulutnya.
“Gantian dong..” Tanpa
menunggu jawabannya
segera kumasukkan batang
kemaluanku ke mulutnya
yang mungil. Semula agak
kesulitan, tetapi lama-lama
dia bisa menyesuaikan diri
sehingga tak lama batang
kemaluanku masuk ke
rongga mulutnya. “Justru di
situ nikmatnya.., Selama ini
sama suami main seksnya
gimana?”, tanyaku sambil
menciumi payudaranya. Ibu
Shinta tak menjawab. Dia
malah mencium bibirku
dengan penuh gairah.
Tanganku pun secara
bergantian memainkan kedua
payudaranya yang kenyal
dan selangkangannya yang
mulai basah. Aku tahu,
perempuan itu sudah
kepengin disetubuhi. Namun
aku sengaja membiarkan dia
menjadi penasaran sendiri.
Tetapi lama-lama aku tidak
tahan juga, batang
kemaluanku pun sudah ingin
segera menggenjot liang
kenikmatannya. Pelan-pelan
aku mengarahkan barangku
yang kaku dan keras itu ke
arah selangkangannya.
Ketika mulai menembus liang
kenikmatannya, kurasakan
tubuh Ibu Shinta agak
gemetar. “Ohh…”, desahnya
ketika sedikit demi sedikit
batang kemaluanku masuk ke
liang kenikmatannya. Setelah
seluruh barangku masuk,
aku segera bergoyang naik
turun di atas tubuhnya. Aku
makin terangsang oleh
jeritan-jeritan kecil,
lenguhan serta kedua
payudaranya yang ikut
bergoyang-goyang.
Tiga menit setelah kugenjot,
Ibu Shinta menjepitkan kedua
kakinya ke pinggangku.
Pinggulnya dinaikkan.
Tampaknya dia akan
orgasme. Genjotan batang
kemaluanku kutingkatkan.
“Ooo… ahh… hmm… ssshh…”,
desahnya dengan tubuh
menggelinjang menahan
kenikmatan puncak yang
diperolehnya. Kubiarkan dia
menikmati orgasmenya
beberapa saat. Kuciumi pipi,
dahi, dan seluruh wajahnya
yang berkeringat. “Sekarang
Ibu Shinta berbalik.
Menungging di atas meja..,
sekarang kita main dong di
atas meja ok!” Aku mengatur
badannya dan Ibu Shinta
menurut. Dia kini bertumpu
pada siku dan kakinya.
“Gaya apa lagi ini?”,
tanyanya.
Setelah siap aku pun mulai
menggenjot dan menggoyang
tubuhnya dari belakang. Ibu
Shinta kembali menjerit dan
mendesah merasakan
kenikmatan yang tiada
taranya, yang mungkin
selama ini belum pernah dia
dapatkan dari suaminya.
Setelah dia orgasme sampai
dua kali, kami istirahat.
“Capek?”, tanyaku. “Kamu
ini aneh-aneh saja. Sampai
mau remuk tulang-tulangku”.
“Tapi kan nikmat Bu..”,
jawabku sambil kembali
meremas payudaranya yang
menggemaskan.
“Ya deh kalau capek. Tapi
tolong sekali lagi, aku pengin
masuk agar spermaku
keluar. Nih sudah nggak
tahan lagi batang
kemaluanku. Sekarang Ibu
Shinta yang di atas”, kataku
sambil mengatur posisinya.
Aku terletang dan dia
menduduki pinggangku.
Tangannya kubimbing agar
memegang batang
kemaluanku masuk ke
selangkangannya. Setelah
masuk tubuhnya kunaik-
turunkan seirama genjotanku
dari bawah. Ibu Shinta
tersentak-sentak mengikuti
irama goyanganku yang
makin lama kian cepat.
Payudaranya yang ikut
bergoyang-goyang
menambah gairah nafsuku.
Apalagi diiringi dengan
lenguhan dan jeritannya saat
menjelang orgasme. Ketika
dia mencapai orgasme aku
belum apa-apa. Posisinya
segera kuubah ke gaya
konvensional. Ibu Shinta
kurebahkan dan aku
menembaknya dari atas.
Mendekati klimaks aku
meningkatkan frekuensi dan
kecepatan genjotan batang
kemaluanku. “Oh Ibu Shinta..,
aku mau keluar nih ahh..”
Tak lama kemudian spermaku
muncrat di dalam liang
kenikmatannya. Ibu Shinta
kemudian menyusul mencapai
klimaks. Kami berpelukan
erat. Kurasakan liang
kenikmatannya begitu hangat
menjepit batang kemaluanku.
Lima menit lebih kami dalam
posisi rileks seperti itu.
Kami berpelukan, berciuman,
dan saling meremas lagi.
Seperti tak puas-puas
merasakan kenikmatan
beruntun yang baru saja
kami rasakan. Setelah itu
kami bangun di pagi hari,
kami pergi mencari sarapan
dan bercakap-cakap kembali.
Ibu Shinta harus pergi
mengajar hari itu dan
sorenya baru bisa kujemput.
Sore telah tiba, Ibu Shinta
kujemput dengan mobilku.
Kita makan di mall dan kami
pun beranjak pulang menuju
tempat parkir. Di tempat
parkir itulah kami beraksi
kembali, aku mulai menciumi
lehernya. Ibu Shinta
mendongakkan kepala sambil
memejamkan mata, dan
tanganku pun mulai meremas
kedua buah dadanya. Nafas
Ibu Shinta makin terengah,
dan tanganku pun masuk di
antara kedua pahanya.
Celana dalamnya sudah
basah, dan jariku mengelus
belahan yang membayang.
“Uuuhh.., mmmhh..”, Ibu
Shinta menggelinjang, tapi
gairahku sudah sampai ke
ubun-ubun dan aku pun
membuka dengan paksa baju
dan rok mininya.
Aaahh..! Ibu Shinta dengan
posisi yang menantang di jok
belakang dengan memakai BH
merah dan CD merah. Aku
segera mencium puting
susunya yang besar dan
masih terbungkus dengan
BH-nya yang seksi,
berganti-ganti kiri dan
kanan. Tangan Ibu Shinta
mengelus bagian belakang
kepalaku dan erangannya
yang tersendat membuatku
makin tidak sabar. Aku
menarik lepas celana
dalamnya, dan nampaklah
bukit kemaluannya. Akupun
segera membenamkan
kepalaku ke tengah ke dua
pahanya. “Ehhh…, mmmhh..”.
Tangan Ibu Shinta meremas
jok mobilku dan pinggulnya
bergetar ketika bibir
kemaluannya kucumbui.
Sesekali lidahku berpindah
ke perutnya dan menjilatinya
dengan perlahan.
“Ooohh.., aduuuhh..”. Ibu
Shinta mengangkat
punggungnya ketika lidahku
menyelinap di antara belahan
kemaluannya yang masih
begitu rapat. Lidahku
bergerak dari atas ke bawah
dan bibir kemaluannya mulai
membuka. Sesekali lidahku
membelai klitorisnya yang
membuat tubuh Ibu Shinta
terlonjak dan nafas Ibu
Shinta seakan tersendak.
Tanganku naik ke dadanya
dan meremas kedua bukit
dadanya. Putingnya
membesar dan mengeras.
Ketika aku berhenti menjilat
dan mengulum, Ibu Shinta
tergeletak terengah-engah,
matanya terpejam. Tergesa
aku membuka semua
pakaianku, dan kemaluanku
yang tegak teracung ke
langit-langit, kubelai-
belaikan di pipi Ibu Shinta.
“Mmmhh…, mmmhh..,
ooohhm..”. Ketika Ibu Shinta
membuka bibirnya,
kujejalkan kepala
kemaluanku, kini iapun mulai
menyedot. Tanganku
bergantian meremas dadanya
dan membelai kemaluannya.
“Oouuuh Ibu Shinta..,
enaaaak.., teruuuss…”,
erangku.
Ibu Shinta terus mengisap
batang kemaluanku sambil
tangannya mengusap liang
kenikmatannya yang juga
telah banjir karena
terangsang menyaksikan
batang kemaluanku yang
begitu besar dan perkasa
baginya. Hampir 20 menit dia
menghisap batang
kemaluanku dan tak lama
terasa sekali sesuatu di
dalamnya ingin meloncat ke
luar. “Ibu Shinta.., ooohh..,
enaaak.., teruuus”, teriakku.
Dia mengerti kalau aku mau
keluar, maka dia memperkuat
hisapannya dan sambil
menekan liang
kenikmatannya, aku lihat dia
mengejang dan matanya
terpejam, lalu.., “Creet..,
suuurr.., ssuuur..”
“Oughh.., Jack.., nikmat..”,
erangnya tertahan karena
mulutnya tersumpal oleh
batang kemaluanku. Dan
karena hisapannya terlalu
kuat akhirnya aku juga tidak
kuat menahan ledakan dan
sambil kutahan kepalanya,
kusemburkan maniku ke
dalam mulutnya, “Crooot..,
croott.., crooot..”, banyak
sekali maniku yang tumpah di
dalam mulutnya.
“Aaahkk.., ooough”, ujarku
puas. Aku masih belum
merasa lemas dan masih
mampu lagi, akupun naik ke
atas tubuh Ibu Shinta dan
bibirku melumat bibirnya.
Aroma kemaluanku ada di
mulut Ibu Shinta dan aroma
kemaluan Ibu Shinta di
mulutku, bertukar saat lidah
kami saling membelit. Dengan
tangan, kugesek-gesekkan
kepala kemaluanku ke celah
di selangkangan Ibu Shinta,
dan sebentar kemudian
kurasakan tangan Ibu Shinta
menekan pantatku dari
belakang. “Ohm, masuk..,
augh.., masukin”
Perlahan kemaluanku mulai
menyeruak masuk ke liang
kemaluannya dan Ibu Shinta
semakin mendesah-desah.
Segera saja kepala
kemaluanku terasa tertahan
oleh sesuatu yang kenyal.
Dengan satu hentakan,
tembuslah halangan itu. Ibu
Shinta memekik kecil. Aku
menekan lebih dalam lagi dan
mulutnya mulai menceracau,
“Aduhhh.., ssshh.., iya..,
terus.., mmmhh.., aduhhh..,
enak.., Jack”
Aku merangkulkan kedua
lenganku ke punggung Ibu
Shinta, lalu membalikkan
kedua tubuh kami sehingga
Ibu Shinta sekarang duduk di
atas pinggulku. Nampak
kemaluanku menancap hingga
pangkal di kemaluannya.
Tanpa perlu diajari, Ibu
Shinta segera menggerakkan
pinggulnya, sementara jari-
jariku bergantian meremas
dan menggosok
payudaranya, klitoris dan
pinggulnya, dan kamipun
berlomba mencapai puncak.
Lewat beberapa waktu,
gerakan pinggul Ibu Shinta
makin menggila dan iapun
membungkukkan tubuhnya
dengan bibir kami saling
melumat. Tangannya
menjambak rambutku, dan
akhirnya pinggulnya berhenti
menyentak. Terasa cairan
hangat membalur seluruh
batang kemaluanku. Setelah
tubuh Ibu Shinta melemas,
aku mendorongnya hingga
telentang, dan sambil
menindihnya, aku mengejar
puncak orgasmeku sendiri.
Ketika aku mencapai klimaks,
Ibu Shinta tentu merasakan
siraman air maniku di liang
kenikmatannya, dan iapun
mengeluh lemas dan
merasakan orgasmenya yang
kedua. Sekian lama kami diam
terengah-engah, dan tubuh
kami yang basah kuyup
dengan keringat masih saling
bergerak bergesekan,
merasakan sisa-sisa
kenikmatan orgasme.
sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar