Minggu, 20 November 2011

Masa puber memang
masa yang paling sulit
bagi para remaja yang
baru beranjak dewasa.
Seperti apa yng aku
alami, keperawananku
malah direnggut om-
ku sendiri. Tapi ini
semua gara-gara ayah
yang sering
menyakitiku. Tapi
semua telah terjadi,
dan aku bagi disini
dalam cerita panas.
Kisah ini terjadi sekian
tahun yang lalu ketika
aku masih berumur 15
tahun. Aku bersekolah
di sebuah SMP favorit
di kotaku dan ketika
itu masih duduk di
kelas 3 SMP. Aku
adalah anak terakhir
dari 3 bersaudara
dengan kakakku yang
tertua telah menjadi
dokter umum dan
kakakku yang satu lagi
masih kuliah di salah
satu perguruan tinggi
negri. Karena melihat
keberhasilan kedua
kakakku, maka ayah
dan ibuku pun
menuntut hal yang
sama dariku. Setiap
kali aku mendapatkan
nilai yang jelek, pasti
habislah aku terkena
amarah dari kedua
orangtuaku. Bahkan
ayah sering
memukuliku dengan
sabuknya.
Ketika itu aku
mendapatkan nilai
yang jelek di mata
pelajaran sejarah,
karena aku memang
tidak terlalu pandai di
bidang itu. Karenanya,
makian dan cambukan
ayah pun harus
kuterima dengan
lapang dada. Pamanku
yang bernama Winata,
masih berumur 26
tahun sudah sering
membelaku ketika
ayah marah karena
aku mendapatkan nilai
buruk. Tapi
tampaknya
pembelaannya sia-sia
saja karena semakin
dia membelaku,
bukannya kasihan,
ayah justru semakin
geram dan Oom win
selalu saja terkena
makiannya pula.
Sambil menangis, aku
pun mengadu ke Oom
Win tentang perlakuan
ayah di kamarnya
yang persis berada di
sebelah kamarku.
“Papa jahat, Oom”
“Sudah Anna, kamu
tenang saja”
“Anna pengen mati aja
Oom, badan Anna
sakit semua dipukulin
Papa terus”
“Hush jangan bilang
gitu Anna, ayah tetap
sayang kok sama
kamu”
Kemudian aku
menyingkapkan
dasterku dengan
tujuan menunjukkan
pahaku yang sudah
berwarna kebiru-
kebiruan terkena
pukulan ayah.
Kemudian Oom Win
beranjak mengambil
body lotion dan
membaringkan aku
yang masih terisak-
terisak di kasurnya.
“Sudah diam, jangan
menangis terus, sini
Oom pijitin”
Oom win dengan
kelembutannya
mengoleskan body
lotion itu di pahaku dan
memijit-memijit
pahaku yang telah
terbentang tanpa
penutup di depan
matanya.
“Auch Oom pelan-
pelan, sakit Oom”
“Iya, Oom pelan-pelan
kok Anna.”
Karena memang aku
sudah akrab dengan
Oom Win sejak aku
kecil, kami tumbuh
bersama lebih sebagai
kakak adik daripada
hubungan paman-
kemenakan. Kemudian
Oom memegang
bahuku untuk
menenangkanku, tapi
karena punggungku
dan bahuku juga
terkena pukulan ayah,
maka aku pun
mengerang kesakitan.
“Auch Oom sakit
sekali punggung Anna”
“Coba kamu lepas saja
daster nya Anna, biar
Oom pijitin juga
punggung kamu”
Aku pun mengambil
posisi tengkurap
ketika Oom Win
memijat-memijat
punggungku. Sesekali,
tangannya yang
lembut menyentuh
bagian paling sensitif
dari tubuhku,
terutama karena
memang aku adalah
remaja puber yang
baru saja
mendapatkan
perubahan-perubahan
di tubuhku. Tangannya
sesekali menyentil
bagian samping
payudaraku, dan
setiap kali itu pula
badanku menyentak-
menyentak.
“Kenapa kamu Anna,
sakit ya?”
“Nggak kok Oom,
cuman Anna kaget”
“Ooh, itu normal kok,
tandanya kamu sudah
dewasa”
Pipiku memerah
menahan malu, karena
ternyata Oom Win
mengetahui apa
maksudku. Kemudian
dengan cepat Oom Win
membalikkan badanku
dan dia dapat melihat
payudaraku yang mulai
tumbuh besar dengan
pentilnya yang
mencuat dibawah
miniset yang kupakai
karena aku mulai
terangsang, terutama
karena pandangannya
yang menyapu bagian-
bagian tertentu dari
tubuhku itu.
“Wah Anna, kok susu
kamu sudah sebesar
itu kamu masih pakai
miniset?”
“Iya Oom, habis Anna
tidak tahu harus
bagaimana”
“Besok pulang sekolah
ikut Oom yah ke mall
kita beli BH buat
kamu”
“Oom serius?”
“Iya, tapi kamu tahu
nggak ukurannya?”
“Wah kalau itu sih
Anna nggak tahu Oom,
gimana dong?”
“Coba sini Oom lihat”
Dengan cepat pula
Oom Win menarik
miniset yang kupakai,
dan refleks tanganku
menutupi susuku yang
tidak ditutupi dengan
apapun juga. Pelan-
Pelan tangan Oom Win
menarik tanganku
yang menutupi susuku
itu.
“Gila, Anna, susu
sebesar itu kamu
masih pakai miniset.
Kalau kamu di sekolah,
pasti temen-temen
kamu sering melihat
pentil kamu dong”
“Iya Oom, temen-
temen Anna yang
cowok kadang-kadang
ada yang jahil pura-
pura tak sengaja
menyenggol Anna
punya”
“Tuh kan, barang
segitu gede mustinya
dibungkus yang bener,
Anna”
Kemudian, dengan
tangannya Oom Win
mulai memegang-
memegang susuku,
mengusap-
mengusapnya dengan
body lotion tapi tidak
menyentuh pentilnya.
“Wah ini pasti
ukurannya 34B”
“Kok Oom tahu?”
“Oom cuman kira-kira,
Anna, besok kita
tanya aja sama
Mbaknya yang jaga
toko, OK?”
Sebelum aku
menjawab pertanyaan
Oom Win, tiba-tiba
mulutnya sudah
“ngempeng” di
pentilku, karena kaget
tubuhku tersentak
dan bukannya
mengelak, aku pun
malahan
membusungkan
dadaku ke arah Oom
Win. Tiba-Tiba Oom
Win melepaskan
mulutnya dari pentilku,
dan seketika itu pula
tubuhku semakin maju
mengikuti arah
kepalanya.
“Enak nggak Anna?”
Dengan malu-malu aku
mengangguk dan
dengan liar Oom Win
mulai memegang-
memegang susuku
lagi, menggoyang-
menggoyangkannya
sambil memilin-
memilin putingku yang
sudah keras sekali.
Kemudian, Oom Win
keluar dari kamar dan
ketika dia kembali,
akan terjadi peristiwa
yang lebih asik lagi.
Oom Win kembali ke
kamarnya ketika aku
masih mengelus-
mengelus putingku
sendiri.
“Lho, Anna, kamu lagi
ngapain?”
“Um, um, lagi cobain
sendiri Oom, ternyata
geli-geli gimana gitu
enak kok”
Oom Win ternyata
mengambil 2 butir
telur dari lemari es.
Kemudian, dia
mengikat kedua
tanganku ke belakang
(di belakang pinggang),
dan setelah itu
mencium bibirku.
Ketika tubuhku
tersentak karena aku
merasakan pentilku
telah beradu dengan
benda dingin yang
aneh, tanpa kusadari
ternyata Oom Win
mengelus-mengelus
kan telur-telur itu tadi
ke kedua pentilku.
Karena aliran dingin itu
pula, aku meronta-
meronta kegelian dan
tidak berdaya karena
kedua tanganku masih
terikat. Aku hanya
bisa memaju
mundurkan dadaku
saja dan justru itu
menambah keasyikan
sendiri ketika kedua
putingku kembali
menyentuh telur yang
dingin itu.
“Oom, Anna pengen
pipis.”
“Pipis aja disini, Anna,
nggak Papa kok”
Karena memang aku
belum pernah
berhubungan sex
sebelumnya, cairan
yang keluar kental dan
tak henti-hentinya itu
ternyata lendir birahiku
yang kuketahui
setelah Oom Win
sendiri
menjelaskannya
kepadaku.
Setelah “pipis” itu, aku
merasakan badanku
lemas terkulai. Dengan
tangan yang masih
terikat, Oom Win mulai
melucuti celana
dalamku.
“Oom, jangan dibuka
Oom, Anna barusan
aja pipis”
“Anna, biar Oom
bersihkan pipisnya”
Kemudian Oom Win
melepas celana
dalamku yang sudah
basah oleh lendir
perawanku. Dengan
liar, Oom Win menjilati
memekku yang sudah
basah itu.
“Geli ah Oom, kok Oom
nggak jijik jilatin pipis
Anna?”
“Hmph, hmph, memek
kamu kenyal Anna”
Justru mendengar
kata-kata jorok dari
Oom Win itulah
berahiku timbul lagi
dan ketika memekku
sudah merasakan
nyot-nyotan yang
hebat, aku pun
berteriak.
“Sudah Oom, Anna
mau pipis lagi”
Karena Oom Win
benar-benar
melepaskan lidahnya
dari memekku,
pinggulku dengan
selangkangannya yang
telah terbuka lebar
dan berlendir itu pun
terangkat. Kemudian
setelah beberapa
saat, Oom Win berbalik
menjilatiku lagi. Dan
tak lama kemudian,
aku pun mengerang
hebat.
“Arghh Oom, Anna
pipis lagi Oom”
Cairan kental yang
deras (lebih hebat dari
yang pertama
kurasakan) mengalir
kembali di memekku.
Oom Win mulai
melucuti pakaiannya
dan aku kaget melihat
ujangnya berdiri tegak
menantang.
“Lho kok bisa berdiri
gitu sih Oom?”
“Memang itu
keistimewaan laki-laki,
Anna, ade Oom ini bisa
juga lemes dan lucu
tapi bisa juga jadi gede
dan tegak”
Pelan-Pelan Oom Win
mengarahkan
ujangnya ke
memekku.
“Oom, mau
dimasukkan kemana
Oom, memek Anna
tidak berlubang”
Dengan sabar Oom
Win berkata, “Setiap
memek perempuan
berlubang, Anna dan
lubang itu baru
berguna setelah ada
laki-laki yang mau
masuk ke lubang itu”
“Tapi Anna tidak
pernah melihat
lubangnya, Oom”
“Nanti kamu juga
merasakannya, tidak
usah ingin melihatnya,
Anna”
Daging yang kenyal itu
(kepala ujang Oom
Win) mulai
menggesek-
menggesek bagian
yang menonjol dari
memekku, oleh
karenanya cairan yang
keluar tadi mulai lagi
mengalir di memekku
dan aku merasa lagi
kegelian.
Karena masih
perawan, maka lubang
memekku mungkin
memang sulit
ditemukan oleh Oom
Win. Sambil masih
terus menggosok-
menggosokkan kepala
ujangnya, Oom Win
memijit-memijit bibir
memekku dan
merekahkannya pelan-
pelan. Dengan tangan
yang masih terikat,
aku meronta-meronta.
“Oom, sakit Oom”
“Kamu mau kita cari
lubang itu nggak?”
“Mau Oom”
Oom Win mulai
mengarahkan
ujangnya ke lubang
memekku. Pelan-Pelan
dia menggesek-
menggesek kan kepala
ujang itu dan aku mulai
merasakan adanya
“lubang” di memekku.
Pelan-Pelan sambil
digosok-digosokkan
maju mundur, akhirnya
clep, ujang Oom Win
masuk menembus
selaput daraku.
“Arhh Oom, sakit
sekali,” darah segar
pun mengalir di
selangkanganku.

Tidak ada komentar: