Minggu, 20 November 2011

ngesek sama ibunya sang pacar

Saat itu aku Ronny
masih kuliah dan saya
mempunyai teman karib
namanya Mona, dari
Sumatera, dia
menumpang di rumah
tantenya. Kebetulan
antara saya dan Mona
mempunyai hoby yang
sama, naik gunung,
lintas alam, atletik,
lempar lembing. Saya
sering bertandang ke
rumahnya, makin lama
makin sering. Karena
saya juga naksir sama
Rita, adik sepupu Mona
atau anak tantenya.
Walau saya sudah
menjadi akrab dengan
keluarganya, tapi Rita
tak kunjung kupacari.
Setelah selesai SMA
Mona melanjutkan studi
di Kota lain, tapi aku
mencoba untuk
bertandang ke rumah
Rita, tapi jarang
ketemu.
Namun perjalanan
waktu menentukan lain
bagi Rita, ayahnya yang
wakil rakyat itu
meninggal. Sekarang ini
ibunya mencari nafkah
sendiri dengan
memegang beberapa
perusahaannya yang
memang sudah dirintis
cukup lama, sebelum
terpilih menjadi wakil
rakyat. Harapanku
memacari Rita tetap
ada di dada, walaupun
saat aku berkunjung,
justru bu Ita (ibunya
Rita/tantenya Mona)
yang sering menemuiku.
karena Rita ada
kesibukan di Jakarta,
sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam
sekolah presenter di
sebuah stasion teve
swasta di sana. Tapi
sebenarnya kalau mau
jujur Rita masih kalah
dengan ibunya. Bu Ita
lebih cantik.,kulitnya
lebih putih bersih,
dewasa dan tenang
pembawaannya.
Sementara Rita agak
sawo matang, nurun
ayahnya kali?
Seandainya Rita seperti
ibunya: tenang
pembawaannya,
keibuan dan penuh
perhatian, baik juga.
Sekarang, di rumah
yang cukup mewah itu
hanya ada bu Ita dan
seorang pembantu.
Mona sudah tidak di
situ, sementara Rita
sekolah di ibukota,
paling-paling seminggu
pulang. Akhirnya saya di
suruh bu Ita untuk
membantu sebagai
karyawan tidak tetap
mengelola
perusahaannya.
Untungnya saya
memiliki kemampuan di
bidang komputer dan
manajemennya, yang
saya tekuni sejak SMA.
Setelah mengetahui
manajemen perusahaan
bu Ita lalu saya
menawari program
akuntansi dan keuangan
dengan komputer, dan
bu Ita setuju bahkan
senang. Merencanakan
kalkulasi biaya proyek
yang ditangani
perusahaannya, dsb.
Saya menyukai
pekerjaan ini. Yang jelas
bisa menambah uang
saku saya, bisa untuk
membantu kuliah, yang
saat itu baru semester
dua. Bu Ita memberi
honor lebih dari cukup
menurut ukuran saya.
Pegawai bu Ita ada tiga
cewek di kantor,
tambah saya, belum
termasuk di lapangan.
Saya sering bekerja
setelah kuliah, sore
hingga malam hari,
datang menjelang
pegawai yang lain
pulang. Itupun kalau ada
proyek yang harus
dikerjakan. Part time
begitu. Bagi saya ini
hanya kerja sambilan
tapi bisa menambah
pengalaman.
Karena hubungan kerja
antara majikan dan
pegawai, hubungan
saya dengan bu Ita
semakin akrab. Semula
sih biasa saja, lambat-
laun seperti sahabat,
curhat, dan sebagainya.
Aku sering dinasehati,
bahkan saking
akrabnya, bercanda,
saya sering pegang
tangannya, mencium
tangan, tentu saja
tanpa diketahui rekan
kerja yang lain. Dan
rupanya dia senang.
Tapi aku tetap menjaga
kesopanan. Pengalaman
ini yang mendebarkan
jantungku, betapapun
dan siapapun bu Ita, dia
mampu menggetarkan
dadaku. Walaupun
sudah cukup umur
wanita ini tetap jelita.
Saya kira siapapun
orangnya pasti
mengatakan orang ini
cantik bahkan cantik
sekali. Dasar pandai
merawat tubuh, karena
ada dana untuk itu, rajin
fitnees, di rumah
disediakan
peralatannya. Kalau
sedang fitnees
memakai pakaian
fitnees ketat sangat
sedap dipandang. Ini
sudah saya ketahui
sejak saya SMA dulu,
tapi karena saya
kepingin mendekati Rita,
hal itu saya
kesampingkan. Data-
data pribadi bu Ita saya
tahu betul karena sering
mengerjakan biodata
berkaitan dengan
proyek-proyeknya.
Tingginya 161 cm,
usianya saat kisah ini
terjadi 37 tahun, lima
bulan dan berat
badannya 52 kg. Cukup
ideal.
Pada suatu hari saya
lembur, karena ada
pekerjaan proyek dan
paginya harus
didaftarkan untuk
diikutkan tender. Pukul
22.00 pekerjaan belum
selesai, tapi aku agak
terhibur bu Ita mau
menemaniku, sambil
mengecek pekerjaanku.
Dia cukup teliti. Kalau
kerja lembur begini ia
malah sering bercanda.
Bahkan kalau
minumanku habis dia
tidak segan-segan yang
menuang kembali, aku
malah menjadi kikuk. Dia
tak enggan pegang
tanganku, mencubit,
namun aku tak berani
membalas. Apalagi bila
sedang mencubit
dadaku aku sama sekali
tidak akan membalas.
Dan yang cukup surprise
tanpa ragu memijit-pijit
bahuku dari belakang.
“Capek ya..? Saya pijit,
nih”, katanya.
Aku hanya tersenyum,
dalam hati senang juga,
dipijit janda cantik.
Apalagi yang kurasakan
dadanya, pasti
teteknya menyenggol
kepalaku bagian
belakang, saya rasakan
nyaman juga. Lama-
lama pipiku sengaja
saya pepetkan dengan
tangannya yang mulus,
dia diam saja. Dia
membalas membelai-
belai daguku, yang
tanpa rambut itu. Aku
menjadi cukup senang.
Hampir pukul 23.00 baru
selesai semua
pekerjaan, saya
membersihkan kantor
dan masih dibantu bu
Ita. Wah wanita ini
betul-betul seorang
pekerja keras, gumanku
dalam hati.
Saya bersiap-siap untuk
pulang, tapi dibuatkan
kopi, jadi kembali
minum.
“Kamu sudah punya
pacar Ron?”
“Belum Bu”, jawabku
“Masa.., pasti kamu
sudah punya. Cewek
mana yang tak mau
dengan cowok
ganteng”, katanya
“Belum Bu, sungguh
kok”, kataku lagi. Kami
duduk bersebelahan di
sofa ruang tengah,
dengan penerangan
yang agak redup. Entah
siapa yang mendahului,
kami berdua saling
berpegangan tangan
saling meremas lembut.
Yang jelas semula saya
sengaja menyenggol
tangannya…
Mungkin karena
terbawa suasana
malam yang dingin dan
suasana ruangan yang
syahdu, dan terdengar
suara mobil melintas di
jalan raya serta sayup-
sayup suara binatang
malam, saya dan bu Ita
hanyut terbawa oleh
suasana romantis. Bu
Ita yang malam itu
memakai gaun warna
hitam dan sedikit motif
bunga ungu. Sangat
kontras dengan warna
kulitnya yang putih
bersih. Wanita
pengusaha ini makin
mendekatkan tubuhnya
ke arahku. Dalam
kondisi yang baru aku
alami ini aku menjadi
sangat kikuk dan
canggung, tapi anehnya
nafasku makin
memburu, kejar-kejaran
dan bergelora seperti
gemuruh ombak di
Pelabuhan Ratu. Saya
menjadi bergemetaran,
dan tak mampu berbuat
banyak, walau
tanganku tetap
memegang tangannya.
“Dingin ya Ron..?!”,
katanya sendu.
Sementara tangan
kiriku ditarik dan
mendekap lengan
kirinya yang memang
tanpa lengan baju itu.
“Ya, Bu dingin sekali”,
jawabku.
Terasa dingin,
sementara tangannya
juga merangkul
pinggangku. Bau
wewanginan semerbak
di sekitar, aku duduk,
menambah suasana
romantis
“Kalau ketahuan Darti
(pembantunya), gimana
Bu?”, kataku gemetar.
“Darti tidak akan masuk
ke sini, pintunya
terkunci”, katanya.
Saya menjadi aman. Lalu
aku mencoba mengecup
kening wanita lincah ini,
dia tersenyum lalu dia
menengadahkan
wajahnya. Tanpa diajari
atau diperintah oleh
siapapun, kukecup bibir
indahnya. Dia
menyambut dengan
senyuman, kami saling
berciuman bibir saling
melumat bibir, lidah
kami bertemu berburu
mencari kenikmatan di
setiap sudut-sudut bibir
dan rongga mulut
masing-masing.
Tangankupun mulai
meraba-raba tubuh
sintal bu Ita, diapun
tidak kalah meraba-raba
punggungku dan bahkan
menyusup dibalik
kaosku. Aku menjadi
semakin terangsang
dalam permainan yang
indah ini.
Sejenak jeda, kami
saling berpandangan dia
tersenyum manis
bahkan amat manis,
dibanding waktu-waktu
sebelumnya. Kami
berangkulan kembali,
seolah-olah dua sejoli
yang sedang mabuk
asmara sedang
bermesraan, padahal
antara majikan dan
pegawainya. Dia mulai
mencumi leherku dan
menggigit lembut
semantara tanganku
mulai meraba-raba
tubuhnya, pertama
pantatnya, kemudian
menjalar ke pinggulnya.
“Sejak kamu kesini
dengan Mona dulu, saya
sudah berpikir: “Ganteng
banget ini anak!”",
katanya setengah
berbisik.
“Ah ibu ada-ada saja”,
kataku mengelak
walaupun saya senang
mendapat sanjungan.
“Saya tidak merayu,
sungguh”, katanya lagi.
Kami makin merangsek
bercumbu, birahiku
makin menanjak naik,
dadaku semakin
bergetar, demikian juga
dada bu Ita. Diapun
nampak bergetaran dan
suaranya agak parau.
Kemudian saya
beranjak, berdiri dan
menarik tangan bu Ita
yang supaya ikut berdiri.
Dalam posisi ini dia saya
dekap dengan
hangatnya. Hasrat
kelakianku menjadi
bertambah bangkit dan
terasa seakan
membelah celana yang
saya pakai. Lalu saya
bimbing dia ke
kamarnya, bagai kerbau
dicocok hidungnya bu
Ita menurut saja. Kami
berbaring bersama di
spring bed, kembali
kami bergumul saling
berciuman dan
becumbu.
“Gimana kalau saya
tidur di sini saja, Bu”,
pintaku lirih.
Ia berpikir sejenak lalu
mengangguk sambil
tersenyum. Kemudian
dia beranjak menuju
lemari dan mengambil
pakaian sambil
menyodorkan kepada
saya.
“Ini pakai punyaku”, dia
menyodorkan pakaian
tidur.
Lalu aku melorot celana
panjangku dan kaos
kemudian memakai
kimononya.
Aku menjadi terlena.
Dalam dekapannya aku
tertidur. Baru sekitar
setengah jam saya
terbangun lagi. Dalam
kondisi begini, jelas aku
susah tidur. Udara
terasa dingin, saya
mendekapnya makin
kencang. Dia
menyusupkan kaki
kanannya di selakangan
saya. Penisku makin
bergerak-gerak,
sementara cumbuan
berlangsung, penisku
semakin menjadi-jadi
kencangnya, yang
sesungguhnya sejak
tadi di sofa.
Aku berpikir kalau sudah
begini bagaimana?
Apakah saya lanjutkan
atau diam saja? Lama
aku berfikir untuk
mengatakan tidak! Tapi
tidak bisa ditutupi
bahwa hasrat, nafsu
birahiku kuat sekali
yang mendorong
melonjak-lonjak dalam
dadaku bercampur aduk
sampai kepada ubun-
ubunku. Walaupun aku
diamkan beberapa saat,
tetap saja kejaran libido
yang terasa lebih kuat.
Memang saya sadar,
wanita yang ada
didekapanku adalah
majikanku, tantenya
Mona, mamanya Rita,
tapi sebagai pria normal
dan dewasa aku juga
merasakan kenikmatan
bibir dan rasa perasaan
bu Ita sebagai wanita
yang sintal, cantik dan
mengagumkan.
Sedikitnya aku sudah
merasakan
kehangatannya
tubuhnya dan
perasaannya, meski
pengalaman ini baru
pertama kali kualami.
Aku tak kuasa
berkeputusan, dalam
kondisi seperti ini aku
semakin bergemetaran,
antara mengelak dan
hasrat yang menggebu-
gebu. Aku perhatikan
wajahnya di bawah
sorot lampu bed,
sengaja saya lihat lama
dari dekat, wajahnya
memancarkan
penyerahan sebagai
wanita, di depan lelaki
dewasa. Pelan-pelan
tanganku menyusup di
balik gaunnya, meraba
pahanya dia mengeliat
pelan, saya tidak tahu
apakah dia tidur atau
pura-pura tidur. Aku
cium lembut bibirnya,
dan dia menyambutnya.
Berarti dia tidak tidur. Ku
singkap gaun tidurnya
kemudian kulepas, dia
memakai beha warna
putih dan cedenya juga
putih. Aku menjadi
tambah takjub melihat
kemolekan tubuh bu
Ita, putih dan indah
banget. Ku raba-raba
tubuhnya, dia mengeliat
geli dan membuka
matanya yang sayu.
Jari-jari lentiknya
menyusup ke balik baju
tidur yang kupakai dan
menarik talinya pada
bagian perutku, lalu
pakaianku terlepas. Kini
akupun hanya pakai
cede saja.
“Kamu ganteng banget,
Ron, tinggi badanmu
berapa, ya?”, bisiknya.
Saya tersenyum
senang.
“Makasih. Ada 171. Bu
Ita juga cantik sekali”,
mendengar jawabanku,
dia hanya tersenyum.
Aku berusaha
membuka behanya
dengan membuka
kaitannya di
punggungnya, kemudian
keplorotkan cedenya
sehingga aku semakin
takjub melihat
keindahan alam yang
tiada tara ini. Hal ini
menjadikan dadaku
semakin bergetar.
Betapa tidak?! Aku
berhadapan langsung
dengan wanita tanpa
busana yang bertubuh
indah, yang selama ini
hanya kulihat lewat
gambar-gambar orang
asing saja. Kini langsung
mengamati dari dekat
sekali bahkan bisa
meraba-raba. Wanita
yang selama ini saya
lihat berkulit putih
bersih hanya pada
bagian wajah, bagian
kaki dan bagian lengan
ini, sekarang tampak
seluruhnya tiada yang
tersisa. Menakjubkan!
Darahku semakin
mendidih, melihat
pemandangan nan indah
itu. Di saat saya masih
bengong, pelan-pelan
aku melorot cedeku,
saya dan bu Ita sama-
sama tak berpakaian.
Penisku benar-benar
maksimal kencangnya.
Kami berdua
berdekapan, saling
meraba dan membelai.
Kaki kami berdua saling
menyilang yang
berpangkal di
selakangan, saling
mengesek. Penisku
yang kencang ikut
membelai paha indah bu
Ita. Sementara itu ia
membelai-belai lembut
penisku dengan tangan
halusnya, yang
membawa efek nikmat
luar biasa.
generasi
Tanganku membela-
belai pahanya kemudian
kucium mulai dari lutut
merambat pelan ke
pangkal pahanya. Ia
mendesah lembut.
Dadaku makin
bergetaran karena kami
saling mencumbu, aku
meraba selakangannya,
ada rerumputan di sana,
tidak terlalu lebat jadi
enak dipandang. Dia
mengerang lembut,
ketika jemariku
menyentuh bibir
vaginanya. Mulutku
menciumi payudaranya
dengan lembut dan
mengedot puntingnya
yang berwarna coklat
kemerah-merahan, lalu
membenamkan
wajahku di antara
kedua susunya.
Sementara tangan
kiriku meremas lembut
teteknya. Desisan dan
erangan lembut muncul
dari mulut indahnya.
Aku semakin bernafsu
walau tetap gemetaran.
Tanganku mulai aktif
memainkan
selakangannya, yang
ternyata basah itu.
Saya penasaran, lalu
kubuka kedua pahanya,
kemudian kusingkap
rerumputan di sekitar
kewanitaannya. Bagian-
bagian warna pink itu
aku belai-belai dengan
jemariku. Klitorisnya, ku
mainkan,
menyenangkan sekali.
Bu Ita mengerang
lembut sambil
menggerakkan pelan
kaki-kakinya. Lalu jariku
kumasukkan
keterowongan pink
tersebut dan menari-
nari di dalamnya. Dia
semakin bergelincangan.
Kelanjutannya ia
menarikku.
“Ayo Ron”aku tak
tahan”, katanya
berbisik
Dan merangkulku ketat
sekali, sehingga bagian
yang menonjol di
dadanya tertekan oleh
dadaku.
Aku mulai menindih
tubuh sintal itu, sambil
bertumpu pada kedua
siku-siku tanganku,
supaya ia tidak berat
menompang tubuhku.
Sementara itu
senjataku terjepit
dengan kedua pahanya.
Dalam posisi begini saja
enaknya sudah bukan
main, getaran
jantungku makin tidak
teratur. Sambil
menciumi bibirnya, dan
lehernya, tanganku
meremas-remas
lembut susunya.
Penisku menggesek-
gesek sekalangannya,
ke arah atas (perut),
kemudian turun
berulang-ulang Tak
lama kemudian kakinya
direnggangkan, lalu
pinggul kami berdua
beringsut, untuk
mengambil posisi tepat
antara senjataku
dengan lubang
kewanitaannya.
Beberapa kali kami
beringsut, tapi belum
juga sampai kepada
sasarannya. Penisku
belum juga masuk ke
vaginanya
“Alot juga”, bisikku. Bu
Ita yang masih di
bawahku tersenyum.
“Sabar-sabar”, katanya.
Lalu tangannya
memegang penisku dan
menuntun
memasukkan ke arah
kewanitaannya.
“Sudah ditekan… pelan-
pelan saja”, katanya.
Akupun menuruti saja,
menekan pinggulku…
“Blesss”, masuklah
penisku, agak seret,
tapi tanpa hambatan.
Ternyata mudah! Pada
saat masuk itulah, rasa
nikmatnya amat
sangat. Seolah aku baru
memasuki dunia lain,
dunia yang sama sekali
baru bagiku. Aku
memang pernah melihat
film orang beginian,
tetapi untuk melakukan
sendiri baru kali ini.
Ternyata rasanya enak,
nyaman, mengasyikkan.
Wonderful! Betapa
tidak, dalam usiaku
yang ke 23, baru
merasakan kehangatan
dan kenikmatan tubuh
wanita.
Gerakanku mengikuti
naluri lelakiku, mulai
naik-turun, naik-turun,
kadang cepat kadang
lambat, sambil
memandang ekspresi
wajah bu Ita yang
merem-melek,
mulutnya sedikit
terbuka, sambil keluar
suara tak disengaja
desah-mendesah.
Merasakan
kenikmatannya sendiri.
“Ah… uh… eh… hem”"
Ketika aku menekankan
pinggulku, dia
menyambut dengan
menekan pula ke atas,
supaya penisku masuk
menekan sampai ke
dasar vaginanya.
Getaran-getaran
perasaan menyatu
dengan leguhan dan
rasa kenikmatan
berjalan merangkak
sampai berlari-lari kecil
berkejar-kejaran. Di
tengah peristiwa itu bu
Ita berbisik
“Kamu jangan terlalu
keburu nafsu, nanti
kamu cepat capek,
santai saja, pelan-pelan,
ikuti iramanya”, ketika
saya mulai menggenjot
dengan semangatnya.
“Ya Bu, maaf”, akupun
menuruti perintahnya.
Lalu aku hanya
menggerakkan
pinggulku ala kadarnya
mengikuti gerakan
pinggulnya yang hanya
sesekali dilakukan.
Ternyata model ini lebih
nyaman dan mudah
dinikmati. Sesekali
kedua kakinya diangkat
dan sampai ditaruh di
atas bahuku, atau
kemudian dibuka lebar-
lebar, bahkan kadang
dirapatkan, sehingga
terasa penisku terjepit
ketat dan semakin
seret. Gerak apapun
yang kami lakukan
berdua membawa efek
kenikmatan tersendiri.
Setelah lebih dari
sepuluh menit , aku
menikmati tubuhnya
dari atas, dia membuat
suatu gerakan dan aku
tahu maksudnya, dia
minta di atas.
Aku tidur terlentang,
kemudian bu Ita
mengambil posisi
tengkurap di atasku
sambil menyatukan alat
vital kami berdua.
Bersetubuhlah kami
kembali.Ia memasukkan
penisku rasanya ketat
sekali menghujam
sampai dalam. Sampai
beberapa saat bu Ita
menggerakkan
pinggulnya,
payudaranya
bergelantungan nampak
indah sekali, kadang
menyapu wajahku. Aku
meremas kuat-kuat
bongkahan pantatnya
yang bergoyang-goyang.
Payudaranya disodorkan
kemulutku, langsung
kudot. Gerakan wanita
berambut sebahu ini
makin mempesona di
atas tubuhku. Kadang
seperti orang berenang,
atau menari yang
berpusat pada gerakan
pinggulnya yang aduhai.
Bayang-bayang gerakan
itu nampak indah di
cermin sebelah ranjang.
Tubuh putih nan indah
perempuan setengah
baya menaiki tubuh
pemuda agak coklat
kekuning-kuningan.
Benar-benar lintas
generasi!
Adegan ini berlangsung
lebih dari lima belas
menit, kian lama kian
kencang dan cepat,
gerakannya. Nafasnya
kian tidak teratur,
sedikit liar. Kayak
mengejar setoran saja.
Tanganku mempererat
rangulanku pada pantat
dan pinggulnya,
sementara mulutku
sesekali mengulum
punting susunya.
Rasanya enak sekali.
Setelah kerja keras
majikanku itu
mendesah sejadi-
jadinya”
“Ah… uh, eh… aku, ke..
luaar..Ron..”, rupanya ia
orgasme.
Puncak kenikmatannya
diraihnya di atas
tubuhku, nafasnya
berkejar-kejaran,
terengah-engah
merasakan keenakan
yang mencapai
klimaknya. Nafasnya
berkejar-kejaran,
gerakannya lambat laun
berangsur melemah,
akhirnya diam. Ia
menjadi lemas di
atasku, sambil
mengatur nafasnya
kembali. Aku
mengusap-usap
punggung mulusnya.
Sesekali ia menggerak-
gerakkan pinggulnya
pelan, pelan sekali,
merasakan sisa-sisa
puncak kenikmatannya.
Beberapa menit dia
masih menindih saya.
Setelah pulih tenaganya,
dia tidur terlentang
kembali, siap untuk
saya tembak lagi. Kini
giliran saya
menindihnya, dan mulai
mengerjakan kegiatan
seperti tadi. Gerakan ku
pelan juga, dia
merangkul aku. Naik
turun, keluar masuk.
Saat masuk itulah rasa
nikmat luar biasa,
apalagi dia bisa
menjepit-jepit, sampai
beberapa kali. Sungguh
aku menikmati
seluruhnya tubuh bu Ita.
Ruaar biasa! Tiba-tiba
suatu dorongan tenaga
yang kuat sampai
diujung senjataku, aliran
darah, energi dan
perasaan terpusat di
sana, yang
menimbulkan kekuatan
dahsyat tiada tara.
Energi itu menekan-
nekan dan memenuhi
lorong-lorong rasa dan
perasaan, saling
memburu dan kejar-
kejaran. Didorong oleh
gairah luar biasa,
menimbulkan efek
gerakan makin keras
dan kuat menghimpit
tubuh indah, yang
mengimbangi dengan
gerakan gemulai
mempesona. Akhirnya
tenaga yang
menghentak-hentak itu
keluar membawa
kenikmatan luar biasa”,
suara tak disengaja
keluar dari mulut dua
insan yang sedang
dilanda kenikmatan. Air
maniku terasa keluar
tanpa kendali,
menyemprot memenuhi
lubang kenikmatan milik
bu Ita.
“Ahh… egh… egh… uhh”,
suara kami bersaut-
sahutan.
Bibir indah itu kembali
kulumat makin seru,
diapun makin
merapatkan tubuhnya
terutama pada bagian
bawah perutnya, kuat
sekali. Menyatu
semuanya,
“Aku” keluar Bu”,
kataku terengah-engah.
“Aku juga Ron”,
suaranya agak lemah.
“Lho keluar lagi, tadi kan
sudah?! Kok bisa keluar
lagi?!”, tanyaku agak
heran.
“Ya, bisa dua kali”,
jawabnya sambil
tersenyum puas.
Kami berdua
berkeringat, walau
udara di luar dingin.
Rasanya cukup
menguras tenaga, bagai
habis naik gunung saja,
lempar lembing atau
habis dari perjalanan
jauh, tapi saya masih
bisa merasakan sisa-
sisa kenikmatan
bersama. Selang
beberapa menit, setelah
kenikmatan berangsur
berkurang, dan terasa
lembek, saya mencabut
senjataku dan berbaring
terlentang di sisinya
sambil menghela nafas
panjang. Puas rasanya
menikmati seluruh
kenikmatan tubuhnya.
Perempuan punya
bentuk tubuh indah
itupun terlihat puas,
seakan terlepas dari
dahaganya, yang
terlihat dari guratan
senyumnya. Saya lihat
selakangannya, ada
ceceran air maniku putih
kental meleleh di bibir
vaginanya bahkan ada
yang di pahanya.
Pengalaman malam itu
sangat menakjubkan,
hingga sampai berapa
kali aku menaiki bu Ita,
aku lupa. Yang jelas
kami beradu nafsu
hampir sepanjang
malam dan kurang tidur.
Keesokan harinya. Busa-
busa sabun memenuhi
bathtub, aku dan bu Ita
mandi bersama, kami
saling menyabun dan
menggosok, seluruh
sisi-sisi tubuhnya kami
telusuri, termasuk
bagian yang paling
pribadi. Yang
mengasyikkan juga
ketika dia menyabun
penisku dan mengocok-
kocok lembut. Saya
senang sekali dan sudah
barang tentu
membawa efek nikmat.
“Saya heran barang ini
semalaman kok tegak
terus, kayak tugu
Monas, besar lagi.
Ukuran jumbo lagi?!”,
katanya sambil
menimang-nimang
tititku.
“Kan Ibu yang bikin
begini?!”, jawabku. Kami
tersenyum bersama.
Sehabis mandi, kuintip
lewat jendela kamar,
Darti sedang nyapu
halaman depan, kalau
aku keluar rumah tidak
mungkin, bisa ketahuan.
Waktu baru pukul
setengah enam. Tetapi
senjata ini belum juga
turun, tiba-tiba hasrat
lelakiku kembali bangkit
kencang sekali. Kembali
meletup-letup, jantung
berdetak makin
kencang. Lagi-lagi aku
mendekati janda yang
sudah berpakaian itu,
dan kupeluk, kuciumi.
Saya agak
membungkuk, karena
aku lebih tinggi. Bau
wewangian semerbak
disekujur tubuhnya,
rasanya lebih fresh,
sehabis mandi. Lalu ku
lepas gaunnya, ku
tanggalkan behanya dan
kuplorotkan cedenya.
Kami berdua kembali
berbugil ria dan menuju
tempat tidur. Kedua
insan lelaki perempuan
ini saling bercumbu,
mengulangi kenikmatan
semalam.
Ia terbaring dengan
manisnya,
pemandangan yang
indah paduan antara
pinggul depan, pangkal
paha, dan rerumputan
sedikit di tengah
menutup samara-
samar huruf “V”, tanpa
ada gumpalan
lemaknya. Aku buka
dengan pelan kedua
pahanya. Aku ciumi,
mulai dari lutut,
kemudian merambat ke
paha mulusnya.
Sementara tangannya
mengurut-urut lembut
penisku. Tubuhku mulai
bergetaran, lalu aku
membuka
selakangannya,
menyibakkan
rerumputan di sana.
Aku ingin melihat secara
jelas barang miliknya.
Jariku menyentuh benda
yang berwarna pink itu,
mulai bagian atas
membelai-belainya
dengan lembut, sesekali
mencubit dan membelai
kembali. Bu Ita
bergelincangan,
tangannya makin erat
memegang tititku.
Kemudian jariku mulai
masuk ke lorong,
kemudian menari-nari di
sana, seperti malam
tadi. Tapi bibir, dan
terowongan yang
didominasi warna pink
ini lebih jelas, bagai
bunga mawar yang
merekah. Beberapa saat
aku melakukan
permainan ini, dan
menjadi paham dan
jelas betul struktur
kewanitaan bu Ita,
yang menghebohkan
semalam.
Gelora nafsu makin
menggema dan
menjalar seantero
tubuh kami, saling
mencium dan
mencumbu, kian
memanas dan berlari
kejar-kejaran. Seperti
ombak laut mendesir-
desir menerpa pantai.
Tiada kendali yang
dapat mengekang dari
kami berdua. Apalagi
ketika puncak
kenikmatan mulai
nampak dan mendekat
ketat. Sebuah kejutan,
tanpa aku duga
sebelumnya penisku
yang sejak tadi di urut-
urut kemudian dikulum
dengan lembutnya.
Pertama dijilati
kepalanya, lalu
dimasukkan ke rongga
mulutnya. Rasanya saya
diajak melayang ke
angkasa tinggi sekali
menuju bulan. Aku
menjadi kelelahan. Sesi
berikutnya dia
mengambil posisi tidur
terlentang, sementara
aku pasang kuda-kuda,
tengkurap yang
bertumpu pada kedua
tangan saya. Saya mulai
memasukkan penisku
ke arah lubang
kewanitaan bu Ita yang
tadi sudah saya
“pelajari” bagian-
bagiannya secara
seksama itu. Benda ini
memang rasanya tiada
tara, ketika
kumasukkan, tidak
hanya saya yang
merasakan enaknya
penetrasi, tetapi juga
bu Ita merasakan
kenikmatan yang luar
biasa, terlihat dari
ekpresi wajahnya, dan
desahan lembut dari
mulutnya.
“Ah”, desahnya setiap
aku menekan senjataku
ke arah selakangannya,
sambil menekankan
pula pinggulnya ke arah
tititku. Kami berdua
mengulangi mengarungi
samodra birahi yang
menakjubkan, pagi itu.
Semuanya sudah
selesai, aku keluar
rumah sekitar pukul
setengah delapan, saat
Darti mencuci di
belakang. Dalam
perjalanan pulang aku
termenung, Betapa
kejadian semalam
dapat berlangsung
begitu cepat, tanpa liku-
liku, tanpa terpikirkan
sebelumnya. Sebuah
wisata seks yang tak
terduga sebelumnya.
Kenikmatan yang
kuraih, prosesnya
mulus, semulus paha bu
Ita. Singkat, cepat dan
mengalir begitu saja,
namun membawa
kenikmatan yang
menghebohkan. Betapa
aku bisa merasakan
kehangatan tubuh bu
Ita secara utuh, orang
yang selama ini menjadi
majikanku. Menyaksikan
rona wajah bu Ita yang
memerah jambu,
kepasrahannya dalam
ketelanjangannya,
menunjukkan kedagaan
seorang wanita yang
mebutuhkan belaian dan
kehangatan seorang
pria.
Hari berganti minggu,
minggu berganti bulan,
si kumbang muda makin
sering mendatangi
bunga untuk mengisap
madu. Dan bunga itu
masih segar saja,
bahkan rasanya makin
segar menggairahkan.
Memang bunga itu
masih mekar dan belum
juga layu, atau memang
tidak mau layu.
Tamat cerita sex
ngentot ini, sangat
dramatis namun
berkesan.

Tidak ada komentar: