Minggu, 20 November 2011

perkumpulan ibu-ibu

Sebenarnya
saya malu
untuk
menuliskan
cerita ini,
tetapi karena
sudah banyak
yang
menggunakan
media ini
untuk
menuliskan
cerita-cerita
tentang seks
walaupun
saya sendiri
tidak yakin
apakah itu
semuanya
fakta atau
fiksi belaka.
Memang cerita
yang saya
tulis ini cukup
memalukan
tetapi di
samping itu
ada kejadian
yang lucu dan
memang
sama sekali
belum pernah
saya alami.
Awal mula dari
cerita ini
adalah ketika
saya baru saja
tinggal di
sebuah daerah
perumahan
yang relatif
baru di daerah
pinggiran kota-
maaf, nama
daerah
tersebut tidak
saya sebutkan
mengingat
untuk
menjaga nama
baik dan harga
diri keluarga
terutama
suami dan
kedua anak
saya. Saya
tinggal di situ
baru sekitar 6
bulanan.
Karena daerah
perumahan
tersebut
masih baru
maka jumlah
keluarga yang
menempati
rumah di situ
masih relatif
sedikit tetapi
khusus untuk
blok daerah
rumah saya
sudah
lumayan
banyak dan
ramai. Rata-
rata keluarga
kecil seperti
keluarga saya
juga yaitu
yang sudah
masuk
generasi
Keluarga
Berencana,
rata-rata
hanya
mempunyai
dua anak
tetapi ada
juga yang
hanya satu
anak saja.
Sudah seperti
biasanya bila
kita
menempati
daerah
perumahan
baru, saya
dengan
sengaja
berusaha
untuk banyak
bergaul
dengan para
tetangga
bahkan juga
dengan
tetangga-
tetangga di
blok yang lain.
Dari hasil
bergaul
tersebut
timbul
kesepakatan
di antara ibu-
ibu di blok
daerah
rumahku
untuk
mengadakan
arisan sekali
dalam sebulan
dan diadakan
bergiliran di
setiap rumah
pesertanya.
Suatu ketika
sedang
berlangsung
acara arisan
tersebut di
sebuah rumah
yang berada di
deretan depan
rumahku,
pemilik rumah
tersebut biasa
dipanggil Bu
Soni (bukan
nama
sebenarnya)
dan sudah
lebih dulu satu
tahun tinggal
di daerah
perumahan ini
daripada saya.
Bu Soni bisa
dibilang ramah,
banyak
ngomongnya
dan senang
bercanda dan
sampai saat
tulisan ini aku
buat dia baru
mempunyai
satu anak,
perempuan,
berusia 8
tahun
walaupun usia
rumah
tangganya
sudah 10
tahun
sedangkan
aku sudah 30
tahun. Aku
menikah
ketika masih
berusia 22
tahun.
Suaminya
bekerja di
sebuah
perusahaan
swasta dan
kehidupannya
juga bisa
dibilang
kecukupan.
Setelah acara
arisan selesai
saya masih
tetap asyik
ngobrol
dengan Bu Soni
karena
tertarik
dengan
keramahan
dan banyak
omongnya itu
sekalipun ibu-
ibu yang lain
sudah pulang
semua. Dia
kemudian
bertanya
tentang
keluargaku,
“Jeng Mar.
Putra-
putranya itu
sudah umur
berapa, sih,
kok sudah
dewasa-
dewasa,
ya?” (Jeng Mar
adalah nama
panggilanku
tetapi bukan
sebenarnya)
tanya Bu Soni
kepadaku.
“Kalau yang
pertama 18
tahun dan
yang paling
ragil itu 14
tahun. Cuma
yaitu Bu,
nakalnya wah,
wah, waa..
Aah benar-
benar, deh.
Saya, tuh,
suka capek
marahinnya.”
“Lho, ya,
namanya juga
anak laki-laki.
Ya, biasalah,
Jeng.”
“Lebih nikmat
situ, ya. Anak
cuma satu dan
perempuan
lagi. Nggak
bengal.”
“Ah, siapa
bilang Jeng
Mar. Sama kok.
Cuma yaitu,
saya dari dulu,
ya, cuma satu
saja.
Sebetulnya
saya ingin
punya satu
lagi, deh. Ya,
seperti situ.”
“Lho, mbok ya
bilang saja
sama
suaminya. ee..
siapa tahu ada
rejeki, si putri
tunggalnya itu
bisa punya
adik. Situ juga
sama
suaminya kan
masih sama-
sama muda.”
“Ya, itulah
Jeng. Papanya
itu lho, suka
susah. Dulu,
ya, waktu
kami mau
mulai berumah
tangga
sepakat untuk
punya dua
saja. Ya, itung-
itung
mengikuti
program
pemerintah,
toh, Jeng. Tapi
nggak tahu lah
papanya tuh.
Kayaknya
sekarang
malah tambah
asik saja
sama
kerjaannya.
Terlalu sering
capek.”
“O, itu toh. Ya,
mbok diberi
tahu saja
kalau
sewaktu-
waktu punya
perhatian
sama
keluarga. ‘Kan
yang namanya
kerja itu juga
butuh
istirahat. Mbok
dirayu lah
gitu.”
“Wah, sudah
dari dulu Jeng.
Tapi, ya, tetap
susah saja,
tuh.
Sebenernya ini,
lho, Jeng Mar.
Eh, maaf, ya,
Jeng kalo’
saya omongin.
Tapi Jeng Mar
tentunya juga
tau dong
masalah
suami-istri
‘kan.”
“Ya, memang.
Ya, orang-
orang yang
sudah seperti
kita ini
masalahnya
sudah macem-
macem, toh,
Bu.
Sebenarnya Bu
Soni ini ada
masalah apa,
toh?”
“Ya, begini
Jeng, suami
saya itu kalo’
bergaul sama
saya suka
cepet-cepet
mau rampung
saja, lho.
Padahal yang
namanya istri
seperti kita-
kita ini ‘kan
juga ingin
membutuhkan
kenikmatan
yang lebih
lama, toh,
Jeng.”
“O, itu, toh.
Mungkin situ
kurang lama
merayunya.
Mungkin
suaminya
butuh variasi
atau model
yang agak
macem-
macem, gitu.”
“Ya, seperti
apa ya, Jeng.
Dia itu kalo’
lagi mau, yang
langsung saja.
Saya
seringnya
nggak
dirangsang
apa-apa. Kalo’
Jeng Mar,
gimana, toh?
Eh, maaf lho,
Jeng.”
“Kalo’ saya
dan suami
saya itu saling
rayu-merayu
dulu. Kalo’
suami saya
yang mulai
duluan, ya, dia
biasanya
ngajak
bercanda dulu
dan akhirnya
menjurus yang
ke porno-
porno gitulah.
Sama seperti
saya juga
kalau misalnya
saya yang
mau
duluan.”"Terus
apa cuma gitu
saja, Jeng.”
“O, ya tidak.
Kalo’ saya
yang merayu,
biasanya
punya suami
saya itu saya
pegang-
pegang.
Ukurannya
besar dan
panjang, lho.
Terus untuk
lebih
menggairahka
ya, punyanya
itu saya enyot
dengan mulut
saya. Saya
isep-isep.”
“ii.. Iih. Jeng
Mar, ih. Apa
nggak jijik,
tuh? Saya saja
membayangka
juga sudah
geli. Hii..”
“Ya, dulu
waktu
pertama kali,
ya, jijik juga,
sih. Tetapi
suami saya itu
selalu rajin,
kok,
membersihkan
gituannya, jadi
ya lama-lama
buat saya
nikmat juga.
Soalnya
ukurannya itu,
sih, yang
lumayan
besar. Saya
sendiri suka
gampang
terangsang
kalo’ lagi
ngeliat.
Mungkin situ
juga kalo’
ngeliat, wah
pasti
kepengen,
deh.”
“Ih, saya belon
pernah, tuh,
Jeng. Lalu kalo’
suaminya
duluan yang
mulai
begimana?”
“Saya
ditelanjangi
sampai polos
sama sekali.
Dia paling suka
merema-
remas
payudara saya
dan juga
menjilati
putingnya dan
kadang
lagaknya
seperti bayi
yang sedang
mengenyot
susu.”, kataku
sambil ketawa
dan tampak
Bu Soni juga
tertawa.
“Habis itu
badan saya
dijilati dan dia
juga paling
suka menjilati
kepunyaan
saya. Rasanya
buat saya, ya,
nikmat juga
dan biasanya
saya semakin
terangsang
untuk
begituan. Dia
juga pernah
bilang sama
saya kalo’
punya saya itu
semakin
nikmat dan
saya disuruh
meliara baik-
baik.”
“Ah, tapi
untuk yang
begituan itu
saya dan
suami saya
sama sekali
belum pernah,
lho, Jeng. Tapi
mungkin ada
baiknya untuk
dicoba juga,
ya, Jeng. Tapi
tadi itu
masalah yang
situ dijilatin
punyanya.
Rasa enaknya
seperti apa,
sih, Jeng.”
“Wah, Bu Soni
ini, kok,
seperti kurang
pergaulan
saja, toh.”
“Lho, terus
terang Jeng.
Memang saya
belon pernah,
kok.”
“Ya, geli-geli
begitulah.
Susah juga
untuk dijelasin
kalo’ belum
pernah
merasakan
sendiri.” Lalu
kami berdua
tertawa.
Setelah
berhenti
tertawa, aku
bertanya, “Bu
Soni mau tau
rasanya kalau
gituannya
dijilati?”
“Yah, nanti
saya rayu,
deh, suami
saya. Mungkin
nikmat juga
ya.” Ucapnya
sambil
tersenyum.
“Apa perlu
saya dulu yang
coba?”,
tanyaku
sambil
bercanda dan
tersenyum.
“Hush!! Jeng
Mar ini ada-ada
saja, ah”,
sambil
tertawa.
“Ya, biar tidak
kaget ketika
dengan
suaminya
nanti. Kita ‘kan
juga sama-
sama wanita.”
“Wah, kayak
lesbian saja.
Nanti saya jadi
ketagihan, lho.
Malah
takutnya lebih
senang sama
situ daripada
sama suami
saya sendiri.
Ih! Malu’ akh.”,
sambil
tertawa.
“Atau kalo’
nggak mau
gitu, nanti
saya kasih tau
gimana
membuat
penampilan
bulu gituannya
biar suaminya
situ tertarik.
Kadang-
kadang bentuk
dan
penataannya
juga
mempengaruhi
rangsangan
suami, lho, Bu
Soni.”
“Ah, Jeng ini.”
“Ee! Betul, lho.
Mungkin
bentuk bulu-
bulu gituannya
Bu Soni
penampilannya
kurang
merangsang.
Kalo’ boleh
saya lihat
sebentar
gimana?”
“Wah, ya,
gimana ya.
Tapii.. ya
boleh, deh. Eh,
tapi saya juga
boleh liat donk
punyanya situ.
Sama-sama
donk, ‘kan
kata Jeng tadi
kita ini sama-
sama
wanita.”"Ya,
‘kan saya
cuma mau
bantu situ
supaya bisa
usaha untuk
punya anak
lagi.”"Kalo’ gitu
kita ke kamar
saja, deh.
Suami saya
juga biasanya
pulang malam.
Yuk, Jeng.”
Langsung kita
berdua ke
kamar Bu Soni.
Kamarnya
cukup tertata
rapi, tempat
tidurnya cukup
besar dan
dengan kasur
busa. Di
dindingnya ada
tergantung
beberapa foto
Bu Soni dan
suaminya dan
ada juga foto
sekeluarga
dengan
anaknya yang
masih semata
wayang. Saya
kemudian ke
luar sebentar
untuk telepon
ke rumah
kalau
pulangnya
agak telat
karena ada
urusan dengan
perkumpulan
ibu-ibu dan
kebetulan
yang
menerima
suamiku
sendiri dan
ternyata dia
setuju saja.
Setelah kita
berdua di
kamar, Bu Soni
bertanya
kepadaku,
“Bagaimana
Jeng? Kira-kira
siap?”
“Ayolah. Apa
sebaiknya kita
langsung
telanjang bulat
saja?”
“OK, deh.”,
jawab Bu Soni
dengan agak
tersenyum
malu. Akhirnya
kita berdua
mulai melepas
pakaian satu-
persatu dan
akhirnya polos
lah semua.
Bulu kemaluan
Bu Soni cukup
lebat juga
hanya
bentuknya
keriting dan
menyebar,
tidak seperti
miliku yang
lurus dan
tertata
dengan bentuk
segitiga ke
arah bawah.
Lalu aku
menyentuh
payudaranya
yang agak
bulat tetapi
tidak terlalu
besar,
“Lumayan
juga, lho, Bu.”
Lalu Bu Soni
pun langsung
memegang
payudaraku
juga sambil
berkata,
“Sama juga
seperti punya
Jeng.” Aku pun
minta ijin
untuk
mengulum
kedua
payudaranya
dan dia
langsung
menyanggupi.
Kujilati kedua
putingnya
yang
berwarna
agak kecoklat-
coklatan
tetapi
lumayan
nikmat juga.
Lalu kujilati
secara
keseluruhan
payudaranya.
Bu Soni
nampak
terangsang
dan napasnya
mulai
memburu.
“Enak juga, ya,
Jeng. Boleh
punya Jeng
saya coba
juga?”"Silakan
saja.”, ijinku.
Lalu Bu Soni
pun
melakukannya
dan tampak
sekali kalau dia
masih sangat
kaku dalam
soal seks,
jilatan dan
kulumannya
masih terasa
kaku dan
kurang begitu
merangsang.
Tetapi
lumayanlah,
dengan cara
seperti ini aku
secara tidak
langsung
sudah
menolong dia
untuk bisa
mendapatkan
anak lagi.
Setelah selesai
saling menjilati
payudara,
kami berdua
duduk-duduk
di atas
tempat tidur
berkasur busa
yang cukup
empuk. Aku
kemudian
memohon Bu
Soni untuk
melihat liang
kewanitaanny
lebih jelas, “Bu
Soni. Boleh
nggak saya
liat gituannya?
Kok bulu-
bulunya agak
keriting. Tidak
seperti milik
saya, lurus-
lurus dan
lembut.”
Dengan agak
malu Bu Soni
membolehkan,
“Yaa.. silakan
saja, deh,
Jeng.” Aku
menyuruh dia,
“Rebahin saja
badannya
terus tolong
kangkangin
kakinya yang
lebar.” Begitu
dia lakukan
semuanya
terlihatlah
daging
kemaluannya
yang
memerah
segar dengan
bibirnya yang
sudah agak
keluar
dikelilingi oleh
bulu yang
cukup lebat
dan keriting.
mm.. Cukup
merangsang
juga
penampilannya
Kudekatkan
wajahku ke
liang
kewanitaanny
lalu kukatakan
kepada Bu Soni
bahwa bentuk
kemaluannya
sudah cukup
merangsang
hanya saja
akan lebih
indah
pemandangan
bila bulunya
sering disisir
agar semakin
lurus dan rapi
seperti milikku.
Lalu kusentuh-
sentuh daging
kemaluannya
dengan
tanganku,
empuk dan
tampak cukup
terpelihara
baik, bersih
dan tidak ada
bau apa-apa.
Nampak dia
agak kegelian
ketika
sentuhan
tanganku
mendarat di
permukaan
alat
kelaminnya
dan dia
mengeluh lirih,
“Aduh, geli,
lho, Jeng.”
“Apa lagi kalo’
dijilat, Bu Soni.
Nikmat, deh.
Boleh saya
coba?”
“Aduh,
gimana, ya,
Jeng. Saya
masih jijik,
sih.”
“Makanya
dicoba.”,
kataku sambil
kuelus salah
satu pahanya.
“mm.. Ya,
silakan, deh,
Jeng. Tapi
saya tutup
mata saja,
ah.”
Lalu kucium
bibir
kemaluannya
sekali, chuph!!
“aa.. Aah.”, Bu
Soni
mengerang
dan agak
mengangkat
badannya. Lalu
kutanya,
“Kenapa?
Sakit, ya?” Dia
menjawab,
“Geli sekali.”
“Saya
teruskan, ya?”
Bu Soni pun
hanya
mengangguk
sambil
tersenyum.
Kuciumi lagi
bibir
kemaluannya
berkali-kali dan
rasa geli yang
dia rasakan
membuat
kedua kakinya
bergerak-
gerak tetapi
kupegangi
kedua pangkal
pahanya erat-
erat. Badannya
bergerinjal-
gerinjal,
pantatnya
naik turun. Uh!
Pemandangan
yang lucu
sekali, aku pun
sempat
ketawa
melihatnya.
Saya
keluarkan lidah
dan saya
sentuhkan
ujungnya ke
bibir
kemaluannya
berkali-kali. Oh!
Aku semakin
terbawa
napsu. Kujilati
keseluruhan
permukaan
memeknya,
gerakanku
semakin cepat
dan ganas. Oh,
Bu Soni,
memekmu
nikmaa..aat
sekali.
Aku sudah tak
ingat apa-apa
lagi. Semua
terkonsentrasi
pada
pekerjaan
menjilati liang
kewanitaan Bu
Soni. Emm..,
Enak sekali.
Terus kujilati
dengan penuh
napsu. Pinggir
ke tengah dan
gerakan
melingkar.
Kumasukan
lidahku ke
dalam celah
bibir
kemaluannya
yang sudah
mulai
membuka.
Ouw! Hangat
sekali dan
cairannya
mulai keluar
dan terasa
agak asin dan
baunya yang
khas mulai
menyengat ke
dalam lubang
hidungku. Tapi
aku tak peduli,
yang penting
rasa kemaluan
Bu Soni
semakin lezat
apalagi
dibumbui
dengan cairan
yang keluar
semakin
banyak.
Kuoleskan ke
seluruh
permukaan
kemaluannya
dengan
lidahku.
Jilatanku
semakin licin
dan seolah-
olah semua
makanan yang
ku makan
pada saat
acara arisan
tadi rasanya
tidak ada apa-
apanya. Badan
Bu Soni
bergerinjal
semakin hebat
begitu juga
pantatnya
naik-turun
dengan
drastis. Dia
mengerang
lirih, “aa.. Ah,
ee.. Eekh, ee..
Eekh, Jee..
Eeng, auw, oo..
Ooh. Emm..
Mmh. Hah,
hah, hah,..
Hah.” Dan saat
mencapai
klimaks dia
merintih, “aa..,
aa.., aa.., aa..,
aah”, Cairan
kewanitaanny
keluar agak
banyak dan
deras. OK,
nampaknya Bu
Soni sudah
mencapai titik
puncaknya.
Tampak Bu
Soni telentang
lemas dan aku
tanya,
“Bagaimana?
Enak? Ada
rasa puas?”
“Lumayan
nikmat, Jeng.
Situ nggak jijik,
ya.”
“Kan sudah
biasa juga
sama suami.”
Kemudian aku
bertanya
sembari
bercanda,
“Situ mau
coba punya
saya juga?”
“Ah, Jeng ini.
Jijik ‘kan.”,
sembari
ketawa.
“Yaa.. Mungkin
belon dicoba.
Punya saya
selalu bersih,
kok. ‘Kan
suami saya
selalu
mengingatkan
saya untuk
memeliharany
Kemudian Bu
Soni agak
berpikir,
mungkin ragu-
ragu antara
mau atau
tidak. Lalu,
“Boleh, deh,
Jeng. Tapi
saya pelan-
pelan saja, ah.
Nggak berani
lama-lama.”
“Ya, ndak apa-
apa. ‘Kan
katanya situ
belum biasa.
Betul? Mau
coba?”
tantangku
sembari
senyum. Lalu
dia cuma
mengangguk.
Kemudian aku
menelentangk
badanku dan
langsung
kukangkangka
kedua kakiku
agar terlihat
liang
kewanitaanku
yang masih
indah
bentuknya.
Tampak Bu
Soni mulai
mendekatkan
wajahnya ke
liang
kewanitaanku
lalu berkata,
“Wah, Jeng
bulu-bulunya
lurus, lemas
dan teratur.
Pantes
suaminya
selalu
bergairah.”
Aku hanya
tertawa.
Tak lama
kemudian aku
rasakan
sesuatu yang
agak basah
menyentuh
kemaluanku.
Kepalaku aku
angkat dan
terlihat Bu Soni
mulai berani
menyentuh-
nyentuhkan
ujung lidahnya
ke liang
kewanitaanku.
Kuberi dia
semangat,
“Terus, terus,
Bu. Saya
merasa
nikmat, kok”.
Dia hanya
memandangku
dan
tersenyum.
Kurebahkan
lagi seluruh
tubuhku dan
kurasakan
semakin luas
penampang
lidah Bu Soni
menjilati liang
kewanitaan
saya. Oh! Aku
mulai
terangsang.
Emm.. Mmh. Bu
Soni sudah
mulai berani.
oo.. Ooh
nikmat sekali.
Sedaa.. Aap.
Terasa
semakin lincah
gerakan
lidahnya, aku
angkat
kepalaku dan
kulihat Bu Soni
sudah mulai
tenggelam
dalam
kenikmatan,
rupanya rasa
jijik sudah
mulai sirna.
Gerakan
lidahnya masih
terasa kaku,
tetapi ini
sudah
merupakan
perkembangan
Syukurlah.
Mudah-
mudahan dia
bisa bercumbu
lebih hebat
dengan
suaminya
nanti.
Lama-
kelamaan
semakin
nikmat. Aku
merintih
nikmat,
“Emm.. Mmh.
Ouw. aa.. Aah,
aa.. Aah. uu..
uuh. te.. te..
Rus
teruu..uus.”
Bibir
kemaluanku
terasa dikulum
oleh bibir
mulut Bu Soni.
Terasa dia
menciumi
kemaluanku
dengan
bernafsu.
Emm.. Mmh,
enaknya.
Untuk lebih
nikmat Bu Soni
kusuruh,
“Pegang dan
elus-elus paha
saya. Enak
sekali Bu.”
Dengan
spontan kedua
tangannya
langsung
mengayunkan
elusannya di
pahaku. Dia
mainkan
sampai
pangkal paha.
Bukan main!
Sudah sama
layaknya aku
main dengan
suamiku
sendiri.
Terlihat Bu
Soni sudah
betul-betul
asyik dan
sibuk menjilati
liang
kewanitaanku.
Gerakan ke
atas ke
bawah
melingkar ke
seluruh liang
kewanitaanku.
Seolah-olah dia
sudah mulai
terlatih.
Kemudian aku
suruh dia
untuk
menyisipkan
lidahnya ke
dalam liang
kewanitaanku.
Dahinya agak
berkerut
tetapi
dicobanya juga
dengan
menekan
lidahnya ke
lubang di
antara bibir
kemaluan
saya. “Aaa..
Aakh! Nikmat
sekali. Aku
mulai naik
untuk
mencapai
klimaks. Kedua
tangannya
terus
mengelus
kedua pahaku
tanpa henti.
Aku mulai naik
dan terasa
lubang
kemaluanku
semakin
hangat,
mungkin lendir
kemaluanku
sudah banyak
yang keluar.
Akhirnya aku
pun mencapai
klimaks dan
aku merintih,
“aa.. Aah,
uuh”. Sialan Bu
Soni
tampaknya
masih asyik
menjilati
sedangkan
badanku
sudah mulai
lemas dan
lelah. Bu Soni
pun bertanya
karena gerak
kaki dan
badanku
berhenti,
“Gimana,
Jeng?” Aku
berkata lirih
sambil
senyum
kepadanya,
“Jempolan.
Sekarang Bu
Soni sudah
mulai pinter.”
Dia hanya
tersenyum.
Aku tanya
kembali,
“Bagaimana?
Situ masih jijik
nggak?”
“Sedikit, kok.”,
jawabnya
sembari
tertawa, dan
akupun ikut
tertawa geli.
“Begitulah Bu
Soni. Mudah-
mudahan bisa
dilanjutkan
lebih mesra
lagi dengan
suaminya,
tetapi jangan
bilang, lho, dari
saya.”
“oo.., ya, ndak,
toh, Jeng. Saya
‘kan juga malu.
Nanti semua
orang tahu
bagaimana?”"S
yang penting
berusaha agar
putrinya bisa
punya adik.
Kasihan, lho,
mungkin sejak
dulu dia
mengharapkan
seorang adik.”
“Ya, mudah-
mudahan lah,
Jeng. Rejeki
akan segera
datang. Eh!
Ngomong-
ngomong, Jeng
mau nggak
kalo’ kapan-
kapan kita
bersama
kayak tadi
lagi?”
“Naa.., ya,
sudah mulai
ketagihan,
deh. Yaa, itu
terserah situ
saja. Tapi
saya nggak
tanggung
jawab, lho,
kalo’ situ
lantas bisa jadi
lesbian juga.
Saya ‘kan
cuma kasih
contoh saja.”,
jawabku
sembari
mengangkat
bahu dan Bu
Soni hanya
tersenyum.
Kemudian aku
cepat-cepat
berpakaian
karena ingin
segera sampai
di rumah,
khawatir
suamiku curiga
dan
berprasangka
yang tidak-
tidak. Waktu
aku pamit, Bu
Soni masih
dalam
keadaan
telanjang bulat
berdiri di depan
kaca menyisir
rambut.
Untung
kejadian ini tak
pernah sampai
terbuka
sampai aku
tulis cerita
yang aneh dan
lucu ini. Soal
bagaimana
kemesraan Bu
Soni dan
suaminya
selanjutnya,
itu bukan
urusan saya
tetapi yang
penting
kelezatan liang
kewanitaan Bu
Soni sudah
pernah aku
rasakan.

Tidak ada komentar: