Jumat, 16 Maret 2012

anak tunggal tempat kost

Keluarga tempat kos saya memiliki anak
tunggal perempuan yang sudah menikah dan
tinggal di rumah orang tuanya. Mbak Sus,
demikian kami anak-anak kos memanggil,
berumur sekitar 35 tahun. Tidak begitu cantik
tetapi memiliki tubuh bagus dan bersih. Menurut
ibu kos, anaknya itu pernah melahirkan tetapi
kemudian bayinya meninggal dunia. Jadi tak
mengherankan kalau bentuk badannya masih
menggiurkan. Kami berlima anak-anak kos yang
tinggal di rumah bagian samping sering iseng-
iseng memperbincangkan Mbak Sus.
Perempuan yang kalau di rumah tak pernah
memakai bra itu menjadi sasaran ngobrol
miring. “Kamu tahu nggak, kenapa Mbak Sus
sampai sekarang nggak hamil-hamil?” tanya
Robin yang kuliah di teknik sipil suatu saat. “Aku
tahu. Suaminya letoi. Nggak bisa ngacung”
jawab Krus, anak teknik mesin dengan tangkas.
“Apanya yang nggak bisa ngacung?” tanya saya
pura-pura tidak tahu. “Bego! Ya penisnya dong”,
kata Krus. “Kok tahu kalau dia susah ngacung?”
saya mengejar lagi. “Lihat saja. Gayanya klemar-
klemer kaya perempuan. Tahu nggak? Mbak Sus
sering membentak-bentak suaminya?” tutur
Krus. “Kalian saja yang nggak tanggap. Dia
sebenarnya kan mengundang salah satu, dua,
atau tiga di antara kita, mungkin malah semua,
untuk membantu”, kata Robin. “Membantu? Apa
maksudmu?” tanyaku tak paham ucapannya.
Robin tertawa sebelum berkata, “Ya membantu
dia agar segera hamil. Dia mengundang secara
tidak langsung. Lihat saja, dia sering
memamerkan payudaranya kepada kita dengan
mengenakan kaus ketat. Kemudian setiap usai
mandi dengan hanya melilitkan handuk di
badannya lalu-lalang di depan kita” “Ah kamu
saja yang GR. Mungkin Mbak Sus nggak
bermaksud begitu”, sergah Heri yang sejak tadi
diam. “Nggak percaya ya? Ayo siapa yang berani
masuk kamarnya saat suaminya dinas malam,
aku jamin dia tak akan menolak. Pasti” Diam-
diam ucapan Robin itu mengganggu pikiranku.
Benarkah apa yang dia katakan tentang Mbak
Sus? Benarkah perempuan itu sengaja
mengundang birahi kami agar ada yang masuk
perangkapnya? Selama setahun kos diam-diam
aku memang suka menikmati pemandangan
yang tanpa tersadari sering membuat penisku
tegak berdiri. Terutama payudaranya yang
seperti sengaja dipamerkan dengan lebih banyak
berkaus sehingga putingnya yang kehitam-
hitaman tampak menonjol. Selain payudaranya
yang kuperkirakan berukuran 36, pinggulnya
yang besar sering membuatku terangsang. Ah
betapa menyenangkan dan menggairahkan kalau
saja aku bisa memasukkan penisku ke
selangkangannya sambil meremas-remas
payudaranya. Setelah perbincangan iseng itu aku
menjadi lebih memperhatikan gerak-gerik Mbak
Sus. Bahkan aku kini sengaja lebih sering
mengobrol dengan dia. Kulihat perempuan itu
tenang-tenang saja meski mengetahui aku sering
mencuri pandang ke arah dadanya sambil
menelan air liur. Suatu waktu ketika berjalan
berpapasan tanganku tanpa sengaja menyentuh
pinggulnya. “Wah.. maaf, Mbak. Nggak
sengaja..” kataku sambil tersipu malu. “Sengaja
juga nggak apa-apa kok dik”, jawabnya sambil
mengerlingkan matanya. Dari situ aku mulai
menyimpulkan apa yang dikatakan Robin
mendekati kebenaran. Mbak Sus memang
berusaha memancing, mungkin tak puas
dengan kehidupan seksualnya bersama
suaminya. Makin lama aku bertambah berani.
Beberapa kali aku sengaja menyenggol
pinggulnya. Eh dia cuma tersenyum-senyum.
Aksi nakal pun kutingkatkan. Bukan menyenggol
lagi tetapi meremas. Sialan, reaksinya sama saja.
Tak salah kalau aku mulai berangan-angan suatu
saat ingin menyetubuhi dia. Peluang itu
sebenarnya cukup banyak. Seminggu tiga kali
suaminya dinas malam. Dia sendiri telah
memberikan tanda-tanda welcome. Cuma aku
masih takut. Siapa tahu dia punya kelainan, yakni
suka memamerkan perangkat tubuhnya yang
indah tanpa ada niat lain. Namun birahiku
rasanya tak tertahankan lagi. Setiap malam yang
ada dalam bayanganku adalah menyusup diam-
diam ke kamarnya, menciumi dan menjilati
seluruh tubuhnya, meremas payudara dan
pinggulnya, kemudian melesakkan penis ke
vaginanya. Suatu hari ketika rumah sepi. Empat
temanku masuk kuliah atau punya kegiatan
keluar, bapak dan ibu kosku menghadiri pesta
pernikahan kerabatnya di luar kota, sedangkan
suami Mbak Sus ke kantor. Aku mengobrol
dengan dia di ruang tamu sambil menonton
televisi. Semula perbincangan hanya soal-soal
umum dan biasa. Entah mendapat dorongan
dari mana kemudian aku mulai ngomong agak
menyerempet-nyerempet. “Saya sebenarnya
sangat mengagumi Mbak Sus lo”, kataku. “Kamu
ini ada-ada saja. Memangnya aku ini bintang
sinetron atau model.” “Sungguh kok. Tahu
nggak apa yang kukagumi pada Mbak?” “Coba
apa..” “Itu..” “Mana?” Tanpa ragu-ragu lagi aku
menyentuhkan telunjukku ke payudaranya yang
seperti biasa hanya dibungkus kaus. “Ah.. kamu
ini.” Reaksinya makin membuatku berani. Aku
mendekat. Mencium pipinya dari belakang kursi
tempat duduknya. Mbak Sus diam. Lalu ganti
kucium lehernya yang putih. Dia menggelinjang
kegelian, tetapi tak berusaha menolak. Wah,
kesempatan nih. Kini sambil menciumi lehernya
tanganku bergerilya di bagian dadanya. Dia
berusaha menepis tanganku yang ngawur, tetapi
aku tak mau kalah. Remasanku terus
kulanjutkan. “Dik.. malu ah dilihat orang”,
katanya pelan. Tepisannya melemah. “Kalau
begitu kita ke kamar?” “Kamu ini nakal”, ujarnya
tanpa berusaha lagi menghentikan serbuan
tangan dan bibirku. “Mbak..” “Hmm..” “Bolehkah
mm.., bolehkah kalau saya..” “Apa hh..”
“Bolehkah saya memegang susu Mbak yang
gede itu?” “Hmm..” Dia mendesah ketika kujilat
telinganya. Tanpa menunggu jawabannya
tanganku segera menelusup ke balik kausnya.
Merasakan betapa empuknya daging yang
membukit itu. Kuremas dua payudaranya dari
belakang dengan kedua tanganku. Desahannya
makin kuat. Lalu kepalanya disandarkan ke
dadaku. Aduh mak, berarti dia oke. Tanganku
makin bersemangat. Kini kedua putingnya ganti
kupermainkan. “Dik, tutup pintunya dulu dong”,
bisiknya dengan suara agak bergetar, mungkin
menahan birahinya yang juga mulai naik. Tanpa
disuruh dua kali secepat kilat aku segera
menutup pintu depan. Tentu agar keadaan aman
dan terkendali. Setelah itu aku kembali ke Mbak
Sus. Kini aku jongkok di depannya. Menyibak rok
bawahnya dan merenggangkan kedua kakinya.
Wuih, betapa mulus kedua pahanya. Pangkalnya
tampak menggunduk dibungkus celana dalam
warna krem. Sambil menciumi pahanya
tanganku menelusup di pangkal pahanya,
meremas-remas vagina dan klitorisnya yang
juga besar. Lidahku makin naik ke atas. Mbak
Sus menggelinjang kegelian sambil mendesah
halus. Akhirnya jilatanku sampai di pangkal
pahanya. “Mau apa kau sshh.. sshh”, tanyanya
lirih sambil memegangi kapalaku erat-erat. “Mbak
belum pernah dioral ya?” “Apa itu?” “Vagina
Mbak akan kujilati.” “Lo itu kan tempat kotor..”
“Siapa bilang?” “Ooo.. oh.. oh ..”, desis Mbak Sus
keenakan ketika lidahku mulai bermain-main di
gundukan vaginanya. Tampak dia keenakan
meski masih dibatasi celana dalam. Serangan
pun kutingkatkan. Celananya kepelorotkan.
Sekarang perangkat rahasia miliknya berada di
depan mataku. Kemerahan dengan klitoris yang
besar sesuai dengan dugaanku. Di sekelilingnya
ditumbuhi rambut tak begitu lebat. Lidahku
kemudian bermain di bibir vaginanya. Pelan-
pelan mulai masuk ke dalam dengan gerakan-
gerakan melingkar yang membuat Mbak Sus
kian keenakan, sampai harus mengangkat-
angkat pinggulnya. “Aahh.. Kau pintar sekali.
Belajar dari mana hh..” “mm film biru dan
bacaan porno kan banyak mm..” jawabku. Tiba-
tiba, tok.. tok.. tok. Pintu depan ada yang
mengetuk. Wah berabe nih. Aksi liarku pun
terhenti mendadak. “Sst ada tamu Mbak”,
bisikku. “Cepat kau sembunyi ke dalam”, kata
Mbak Sus sambil membenahi pakaiannya yang
agak berantakan. Aku segera masuk ke dalam
kamar Mbak Sus. Untung kaca jendela depan
yang lebar-lebar rayban semua, sehingga dari
luar tak melihat ke dalam. Sampai di kamar
berbau harum itu aku duduk di tepi ranjang.
Penisku tegak mendesak celana pendekku yang
kukenakan. Sialan, baru asyik ada yang
mengganggu. Kudengar suara pintu dibuka.
Mbak Sus bicara beberapa patah kata dengan
seorang tamu bersuara laki-laki. Tidak sampai
dua menit Mbak Sus menyusul masuk kamar
setelah menutup pintu depan. “Siapa Mbak?”
“Tukang koran menagih rekening.” “Wah
mengganggu saja itu orang. Baru nikmat-
nikmat..” “Sudahlah”, katanya sambil mendekati
aku. Tanpa sungkan-sungkan Mbak Sus
mencium bibirku. Lalu tangannya menyentuh
celanaku yang menonjol akibat penisku yang
ereksi maksimal, meremas-remasnya beberapa
saat. Betapa lembut ciumannya, meski masih
polos. Aku segera menjulurkan lidahku,
memainkan di rongga mulutnya. Lidahnya
kubelit sampai dia seperti hendak tersedak.
Semula Mbak Sus seperti akan memberontak
dan melepaskan diri, tapi tak kubiarkan. Mulutku
seperti melekat di mulutnya. Lama-lama dia
akhirnya dia bisa menikmati dan mulai
menirukan gaya permainan ciuman yang secara
tak sadar baru saja kuajarkan. “Uh kamu
pengalaman sekali ya. Sama siapa? Pacarmu?”
tanyanya di antara kecipak ciuman yang
membara dan mulai liar. Aku tak menjawab.
Tanganku mulai mempermainkan kedua
payudaranya yang tampak menggairahkan itu.
Biar tak merepotkan, kausnya kulepas. Kini dia
telanjang dada. Tak puas, segera kupelorotkan
rok bawahnya. Nah kini dia telanjang bulat.
Betapa bagus tubuhnya. Padat, kencang, dan
putih mulus. “Nggak adil. Kamu juga harus
telanjang.” Mbak Sus pun melucuti kaus, celana
pendek, dan terakhir celana dalamku. Penisku
yang tegak penuh segera diremas-remasnya.
Tanpa dikomando kami rebah ke ranjang,
berguling-guling, saling menindih. “Mbak mau
saya oral lagi?” tanyaku. Mbak Sus hanya
tersenyum. Aku menunduk ke selangkangannya
mencari-cari pangkal kenikmatan miliknya.
Tanpa ampun lagi mulut dan lidahku menyerang
daerah itu dengan liar. Mbak Sus mulai
mengeluarkan jeritan-jeritan tertahan menahan
nikmat. Kelihatan dia menemukan pengalaman
baru yang membius gairahnya. Hampir lima
menit kami menikmati permainan itu.
Selanjutnya aku merangkak naik. Menyorongkan
penisku ke mulutnya. “Gantian dong, Mbak”
“Apa muat segede itu..” Tanpa menunggu
jawabannya segera kumasukkan penisku ke
mulutnya yang mungil. Semula agak kesulitan,
tetapi lama-lama dia bisa menyesuaikan diri
sehingga tak lama penisku masuk rongga
mulutnya. Melihat Mbak Sus agak tersiksa oleh
gaya permainan baru itu, aku pun segera
mencabut penisku. Pikirku, nanti lama-lama pasti
bisa. “Sorry ya Mbak” “Ah kau ini mainnya aneh-
aneh.” “Justru di situ nikmatnya, Mbak. Selama
ini Mbak sama suami main seksnya gimana?”
tanyaku sambil menciumi payudaranya. “Ah
malu. Kami main konvensional saja kok.”
“Langsung tusuk begitu maksudnya..” “Nakal
kau ini”, katanya sambil tangannya mengelus-
elus penisku yang masih tetap tegak berdiri.
“Suami Mbak mainnya lama nggak?” “Ah..” dia
tersipu-sipu. Mungkin malu untuk
mengungkapkan. “Pasti Mbak tak pernah puas
ya?” Mbak Sus tak menjawab. Dia malah
menciumi bibirku dengan penuh gairah.
Tanganku pun ganti-berganti memainkan kedua
payudaranya yang kenyal atau selangkangannya
yang mulai berair. Aku tahu, perempuan itu
sudah kepengin disetubuhi. Namun aku sengaja
membiarkan dia menjadi penasaran sendiri.
Tetapi lama-lama aku tak tahan juga. Penisku
pun sudah ingin segera menggenjot vaginanya.
Pelan-pelan aku mengarahkan barangku yang
kaku dan keras itu ke arah selangkangannya.
Ketika mulai menembus vaginanya, kurasakan
tubuh Mbak Sus agak gemetar. “Ohh..”
desahnya ketika sedikit demi sedikit batang
penisku masuk vaginanya. Setelah seluruh
barangku masuk, aku segera bergoyang naik
turun di atas tubuhnya. Aku makin terangsang
oleh jeritan-jeritan kecil, lenguhan, dan kedua
payudaranya yang ikut bergoyang-goyang. Tiga
menit setelah kugenjot Mbak Sus menjepitkan
kedua kakinya ke pinggangku. Pinggulnya
dinaikkan. Tampaknya dia akan orgasme.
Genjotan penisku kutingkatkan. “Ooo.. ahh..
hmm.. sshh..” desahnya dengan tubuh
menggelinjang menahan kenikmatan puncak
yang diperolehnya. Kubiarkan dia menikmati
orgasmenya beberapa saat. Kuciumi pipi, dahi,
dan seluruh wajahnya yang berkeringat. “Enak
Mbak?” tanyaku. “Emmhh..” “Puas Mbak?”
“Ahh..” desahnya. “Sekarang Mbak berbalik.
Menungging.” Aku mengatur badannya dan
Mbak Sus menurut. Dia kini bertumpu pada siku
dan kakinya. “Gaya apa lagi ini?” tanyanya. “Ini
gaya anjing. Senggama lewat belakang. Pasti
Mbak belum pernah.” Setelah siap aku pun mulai
menggenjot dan menggoyang dari belakang.
Mbak Sus kembali menjerit dan mendesah
merasakan kenikmatan tiada tara yang mungkin
selama ini belum pernah dia dapatkan dari
suaminya. Setelah dia orgasme sampai dua kali,
kami istirahat. “Capek?” tanyaku. “Kamu ini aneh-
aneh saja. Sampai mau remuk tulang-tulangku.”
“Tapi kan nikmat Mbak”, jawabku sambil kembali
meremas payudaranya yang menggemaskan.
“Kita lanjutkan nanti malam saja ya.” “Ya deh
kalau capek. Tapi tolong sekali lagi, aku pengin
masuk agar spermaku keluar. Nih sudah nggak
tahan lagi penisku. Sekarang Mbak yang di atas”,
kataku sambil mengatur posisinya. Aku terletang
dan dia menduduki pinggangku. Tangannya
kubimbing agar memegang penisku masuk ke
selangkangannya. Setelah masuk tubuhnya
kunaikturunkan seirama genjotanku dari bawah.
Mbak Sus tersentak-sentak mengikuti irama
goyanganku yang makin lama kian cepat.
Payudaranya yang ikut bergoyang-goyang
menambah gairah nafsuku. Apalagi ditingkah
lenguhan dan jeritannya menjelang sampai
puncak. Ketika dia mencapai orgasme aku belum
apa-apa. Posisinya segera kuubah ke gaya
konvensional. Mbak Sus kurebahkan dan aku
menembaknya dari atas. Mendekati klimaks aku
meningkatkan frekuensi dan kecepatan genjotan
penisku. “Oh Mbak.. aku mau keluar nih ahh..”
Tak lama kemudian spermaku muncrat di dalam
vaginanya. Mbak Sus kemudian menyusul
mencapai klimaks. Kami berpelukan erat.
Kurasakan vaginanya begitu hangat menjepit
penisku. Lima menit lebih kami dalam posisi
relaksasi seperti itu. “Vaginamu masik nikmat
Mbak”, bisikku sambil mencium bibir mungilnya.
“Penismu juga nikmat, Dik.” “Nanti kita main
dengan macam-macam gaya lagi.” “Ah Mbak
memang kalah pintar dibanding kamu.” Kami
berpelukan, berciuman, dan saling meremas
lagi. Seperti tak puas-puas merasakan
kenikmatan beruntun yang baru saja kami
rasakan. “Mbak kalau pengin bilang aja ya.”
“Kamu juga. Kalau ingin ya langsung masuk ke
kamar Mbak. Tetapi sst.. kalau pas aman lo.”
“Mbak mau nggak main ramai-ramai?”
“Maksudmu gimana?” “Ya misalnya aku
mengajak salah satu teman dan kita main
bertiga. Dua lawan satu. Soalnya Mbak tak cukup
kalau cuma dilayani satu cowok.” “Ah kamu ini
ada-ada saja. Malu ah..” “Tapi mau mencoba
kan?” Mbak Sus tidak menjawab. Dia malah
kemudian menciumi dan menggumuli aku
habis-habisan. Ya aku terangsang lagi jadinya. Ya
penisku tegak lagi. Ya akhirnya aku mesti
menggenjot dan menembaknya sampai dia
orgasme beberapa kali. Ah Mbak Sus, Mbak Sus

Tidak ada komentar: